Prahara Bisnis Kripto di Jantung Malta

Sebagian pegiat kripto boleh senang hati, karena ada Malta benar-benar serius mendukung industri blockchain. Pemerintah negara pulau di Eropa itu memang membuka gerbang selebar-lebarnya bagi bisnis kripto di sana. Sejumlah regulasi yang dibuat, memungkinkan perusahaan bisa menggelar tikar di Malta. Lagipula perusahaan-perusahaan di Malta hanya terbeban pajak sebesar 5 persen dibandingkan dengan rata-rata beban pajak perusahaan di Uni Eropa yang mencapai 20 persen.

Pada awal Oktober 2018 lalu misalnya, Perdana Menteri (PM) Malta Joseph Muscat, dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, menyatakan ia melihat teknologi blockchain sebagai alat yang mendorong kripto dan terutama Bitcoin mendapat adopsi massal dan menjadi masa depan uang.

“Saya sangat yakin teknologi merevolusi dan memperbarui sistem yang ada. Karena itulah, kami di Malta meluncurkan nama kami sebagai pulau blockchain,” jelas Muscat.

Ia menegaskan, Malta adalah negara pertama di dunia yang meregulasi teknologi baru ini, di mana sebelumnya tidak ada aturan legal apapun. Blockchain mampu menjadikan kripto sebagai masa depan uang yang tak terhindarkan. Uang kripto lebih transparan, sehingga kita bisa melihat bisnis akan berjalan dengan baik.

Malta juga memelopori sektor kripto dan blockchain dengan sebuah pengembangan baru di bidang pendidikan. Pada awal September 2018, Universitas Malta telah menandatangani kerjasama dengan Malta Information Technology Agency (MITA) untuk menggelontorkan dana beasiswa sebesar 300 ribu Euro, seperti dilansir dari CCN.com. Beasiswa ini akan diberikan kepada pelajar yang ingin mempelajari blockchain dan teknologi distributed ledger di tahun ajaran mendatang. Dana beasiswa ini khusus untuk para pelajar di bidang teknik, keuangan, hukum dan teknologi informatika.

Saking ramahnya Malta, mendorong bursa kripto ZebPay, India hijrah ke sana, selain memilih Singapura, yang juga cukup ramah. Penyebabnya adalah Pemerintah India punya aturan ketat soal kripto, bahkan sebelumnya melarang bank-bank di negeri itu untuk melayani perusahaan bursa kripto. Baru-baru ini saja Pemerintah India dianggap agak melunak, dengan membuat rancangan rekomendasi aturan perdagangan kripto.

Namun demikian, hala tuju blockchain Malta bukannya tak mendapatkan sorotan. IMF dan kubu oposisi Malta punya “senjata” untuk menyudutkan pihak berkuasa. Pada 24 Januari lalu, IMF menyatakan, Malta menyimpan potensi membesarnya jumlah kegiatan pencucian uang dan pendanaan aksi terorisme dengan sejumlah regulasi yang disebutkan “maha bebas” itu.

Pihak oposisi melihatnya ada ketimpangan, sebab tidak banyak perusahaan bonafide yang gelar tikar di Malta. Ini yang disebut pihak oposisi tidak memberikan manfaat ekonomi kepada negara. Mereka mencontohkan perusahaan DQR Group asal Jerman yang masuk ke Malta pada April 2018. Tak lama berselang, perusahaan justru merumahkan sejumlah karyawannya, gara-gara salah satu investornya, yakni Genesis Mining mengalami kerugian gara-gara pasar kripto global yang sedang bearish.

Dilansir dari Cointelegraph, Mike Carter, Direktur Senior Alvarez & Marsal’s Disputes and Investigations mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa Malta agak pincang soal sistem pengawasan keuangannya

“Hanya ada 92 penyelidikan kasus pencucian uang di Malta sejak 2013 hingga 2017. Pada Juli 2018 Otoriritas Perbankan Eropa menyoroti penerapan dan pengawasan soal pencucian uang. Misalnya kasus izin Bank Pilatus yang beroperasi di Malta sejak 2014,” kata Carter.

Setidaknya prahara Malta akan menjadi pola umum bagi negara-negara lain di dunia yang kelak membuka kran regulasi yang sebebas-bebasnya bagi industri kripto. Duit perusahaan asing boleh masuk, tetapi kasus tradisional yang belum sembuh sebelumnya, memang harus diobati terlebih dahulu, walaupun IMF terkadang punya kebijakan standar ganda. []

Terkini

Warta Korporat

Terkait