Bayangkan seluruh aset di dunia bernilai sekitar US$900 triliun. Kedengarannya luar biasa besar, bukan? Tapi di balik angka fantastis itu tersembunyi satu kenyataan yang tidak banyak dibahas, di mana hampir dua pertiga dari nilai tersebut ditopang oleh utang.
Tepatnya, sekitar US$600 triliun berbentuk utang dan kewajiban yang belum terpenuhi. Dan jika utang itu suatu hari dinyatakan gagal bayar, maka nilai dari seluruh aset itu ikut runtuh. Seperti menara kartu yang kehilangan pondasinya.
Hal ini diungkapkan dalam diskusi terbuka di kanal YouTube Simply Bitcoin, yang menampilkan perspektif tajam soal kondisi keuangan global saat ini, bersama narasumber Jeff Both, seorang pengusaha teknologi, investor, dan penulis asal Kanada yang dikenal luas karena pandangannya tentang masa depan ekonomi global dan teknologi.
“Orang-orang sedang mengukur nilai aset dalam sistem yang utangnya sudah tidak sehat, seolah-olah masih sehat,” ujar Jeff Booth.
Baginya, dunia sedang dalam tahap akhir dari sistem moneter berbasis utang yang sudah tidak bisa dibendung tanpa manipulasi berkelanjutan.
Sistem Sentralisasi yang Tak Terhindarkan
Di sisi lain, untuk mencegah kehancuran total, pemerintah dan institusi keuangan terus melakukan apa yang disebut Booth sebagai “manipulasi uang secara eksponensial.”
Artinya, untuk menyelamatkan sistem lama, semakin banyak kontrol dan intervensi dilakukan. Hasil akhirnya adalah peningkatan sentralisasi yang seolah dipaksakan. Dan kalau sistem benar-benar kolaps, menurutnya, masyarakat tidak akan tinggal diam.
“Sebelum anarki terjadi, orang-orang akan memilih lebih banyak kontrol dan sentralisasi. Mereka tidak akan membiarkan bank gagal,” jelasnya.
Namun demikian, ada satu hal yang tidak ikut runtuh bersama sistem itu, yaitu Bitcoin. Aset digital ini, menurut Booth, justru berada di luar sistem lama dan menawarkan fondasi baru berbasis energi dan desentralisasi. Sebuah sistem yang tak bisa dimanipulasi dengan cara lama.
Bitcoin dan Repricing Aset Global
Dalam skema Booth, Bitcoin berpotensi repricing seluruh aset senilai US$900 triliun yang saat ini masih berada dalam sistem lama.
Logikanya sederhana, jika seluruh kekayaan dunia direpresentasikan dalam bentuk purchasing power, lalu dibagi dengan total suplai Bitcoin yang hanya 21 juta, maka kita bisa membayangkan betapa berharganya satu keping BTC dalam jangka panjang.
“Kalau kamu punya sebagian kecil saja dari satu Bitcoin, dalam jangka panjang itu bisa cukup untuk hidup selamanya,” ujar Booth, menggarisbawahi efek deflasi dan efisiensi dari sistem baru ini. Apalagi jika dunia terus bergerak menuju otomasi, AI dan efisiensi produksi.
Ancaman Sentralisasi Ulang
Namun, tidak semua hal indah bertahan tanpa tantangan. Booth memperingatkan bahwa bahkan Bitcoin tidak kebal terhadap sentralisasi. Dengan munculnya institusi yang memegang porsi besar Bitcoin, seperti Strategy dan berbagai ETF yang dikustodi oleh Coinbase, muncul kembali pola lama, yakni satu entitas besar memegang kendali.
“Itu terdengar sangat familiar, bukan?” ujar Booth, membandingkan fenomena ini dengan bagaimana emas akhirnya tersentralisasi.
Ia menyebutkan bahwa ini bukan masalah pada Bitcoin itu sendiri, tapi pada sifat manusia. Ketamakan, rasa takut dan kecenderungan menyerahkan kendali demi kenyamanan bisa membuat kita mengulangi kesalahan lama.
Jika terlalu banyak pengguna mulai meninggalkan self-custody demi kemudahan, maka risiko sentralisasi akan kembali menjebak sistem baru ini dalam pola lama.
Di sinilah peran komunitas pengguna Bitcoin menjadi sangat penting. Menurut Booth, hanya mereka yang menjalankan node dan mengerti nilai sejati desentralisasi yang bisa menjaga agar Bitcoin tetap berada di jalur yang benar.
“Kamu menjadi seseorang yang menjaga kedaulatan manusia,” ungkapnya.
Karena pada akhirnya, pilihan ada di tangan masing-masing individu, apakah kita akan ikut terjebak kembali dalam sistem lama yang dikendalikan, atau kita memilih untuk membangun sistem baru yang berdasarkan keterbukaan, energi dan kepercayaan tanpa perantara? [st]