Kenaikan harga emas dalam beberapa pekan terakhir kembali menarik perhatian pelaku pasar global. Di tengah tekanan geopolitik dan ekonomi, logam mulia ini sekali lagi membuktikan statusnya sebagai safe haven utama.
Namun, di balik lonjakan harga emas yang terkesan “ogah turun,” ada dinamika global yang jauh lebih kompleks—mulai dari kebijakan tarif hingga tarik-ulur geopolitik antara kekuatan ekonomi dunia seperti Amerika Serikat dan China.
Ketegangan Tarif dan Dampaknya ke Emas
Salah satu pemicu utama lonjakan harga emas saat ini adalah meningkatnya ketidakpastian ekonomi yang dipicu oleh kebijakan tarif oleh Trump, dan menjadi sorotan karena efek domino yang ditimbulkannya terhadap stabilitas ekonomi dunia.
Bagaimana Kebijakan Tarif AS dapat Mengguncang dan Menguntungkan Perdagangan Kripto?
Salah satu analis ternama, RLinda, menegaskan dalam analisanya yang diunggah pada 10 April bahwa aset lindung nilai tersebut hingga kini masih menjadi tolok ukur utama dalam membaca arah perekonomian global.
“Karena emas merupakan indikator risiko ekonomi global. Ketika risiko meningkat, harganya akan naik. Ketika risiko menurun, harganya akan terkoreksi atau turun,” jelasnya.
Kondisi semakin kompleks karena ketegangan antara dua negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia—Amerika Serikat dan China—juga memanas.
Persaingan kebijakan, terutama dalam perdagangan, menciptakan atmosfer ketidakpastian yang mendorong para investor untuk kembali melirik instrumen safe haven yang telah terbukti tangguh selama ratusan tahun.
RLinda menambahkan bahwa jika tensi geopolitik terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan harganya akan terus menanjak. Terlebih lagi jika Trump memutuskan untuk kembali menerapkan kebijakan yang sempat ia jeda sebelumnya.
“Jika situasi tegang ini terus berlanjut, harga emas dipastikan akan terus naik menuju level 3.200, 3.300, dan bahkan 3.500,” pungkasnya.

Bitcoin: “Emas Digital” yang Masih Dalam Proses
Di tengah euforia terhadap logam mulia ini, Bitcoin juga tak luput dari sorotan. Banyak yang menjulukinya sebagai “digital gold,” tetapi performanya belakangan ini justru berlawanan arah. Saat emas melesat, Bitcoin justru tertekan ke bawah level US$80.000.
Meski demikian, sebagian pihak masih percaya bahwa aset kripto ini akan terus berkembang, terutama sebagai safe haven di tengah melemahnya kepercayaan terhadap mata uang dan aset negara-negara besar.
Data dari New Hedge menunjukkan adanya perbedaan korelasi yang signifikan. Ini memperlihatkan bahwa meski keduanya sama-sama dipandang sebagai aset lindung nilai, pasar belum sepenuhnya memperlakukan mereka setara.

Namun secara fundamental, Bitcoin perlahan membangun pondasinya. Dengan umur yang baru menginjak 16 tahun—jauh dibandingkan sejarah panjang emas—Bitcoin masih berada dalam fase pembuktian.
Bitcoin Mulai Dilirik, Tapi Butuh Waktu
Menariknya, adopsi Bitcoin kini tidak hanya terjadi di level institusional, tetapi juga mulai merambah ke tingkat negara. Rusia, misalnya, telah memanfaatkannya dalam perdagangan minyak dengan China dan India sebagai strategi untuk menghindari sanksi. Amerika Serikat bahkan sebelumnya telah membentuk Strategic Bitcoin Reserve.
Fenomena ini semakin memperkuat pandangan bahwa Bitcoin bukan lagi sekadar eksperimen digital, melainkan telah berkembang menjadi alat transaksi strategis lintas negara, layaknya logam mulia.
Didukung oleh adopsi yang kian masif serta perubahan kebijakan di berbagai yurisdiksi, Bitcoin perlahan mulai menempatkan dirinya sebagai bagian penting dari sistem keuangan global.
Namun, seperti halnya emas yang membutuhkan ratusan tahun untuk meraih status sebagai safe haven, Bitcoin pun masih memerlukan waktu—dan tentu saja, kepercayaan yang lebih luas dari pasar. [dp]