Dimaz Ankaa Wijaya
Peneliti pada Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia


Bitcoin adalah salah satu topik pembicaraan terpanas selama beberapa tahun belakangan ini. Lonjakan harga yang signifikan sejak 2014 membuat semua mata menuju open source platform, yang diinisiasi oleh orang paling dicari di muka bumi, Satoshi Nakamoto. Bitcoin mewujudkan angan para crypto-anarchist dengan menyediakan keping terakhir puzzle kebebasan mutlak yang mereka idam-idamkan sejak lama.

Tidak hanya kalangan teknologis saja yang antusias menyambut bitcoin. Evangelist bitcoin yang tanpa lelah menyelenggarakan pertemuan (meetup) mingguan di berbagai penjuru dunia, serta liputan luas dari media arus utama (mainstream) membuat kata bitcoin menjadi umum diucapkan oleh para gagap teknologi sekalipun.

Lebih dari itu, kemudahan mendapatkan bitcoin serta semakin banyaknya vendor yang menerima bitcoin, menjadi alasan kenaikan jumlah transaksi yang sangat signifikan. Padahal, pada saat pertama kali Satoshi menciptakan bitcoin, ada batasan-batasan kapasitas yang memang dibuat agar sistem yang baru lahir tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi infrastruktur saat itu. Akibatnya, Bitcoin terkenal dengan kapasitas yang amat kecil, yakni 7 transaksi per detik, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kapasitas pemrosesan sistem pembayaran yang lebih mapan, Visa misalnya, yang mampu memproses 56 ribu transaksi per detik.

Para pegiat dan pengembang bitcoin tentu tidak tinggal diam dengan adanya batasan ini. Mereka mencoba menawarkan berbagai solusi untuk memperbesar kapasitas sistem bitcoin agar dapat menampung lebih banyak transaksi. Dari sinilah perdebatan panjang dimulai, dan diakhiri dengan munculnya koin baru bernama Bitcoin Cash, sementara bitcoin yang semula lebih dikenal dengan nama Bitcoin Core. Kedua koin ini pada akhirnya menyelesaikan masalah skalabilitas, namun dengan cara yang amat berbeda.

Bitcoin Core, setelah memisahkan diri secara sistem maupun secara komunitas dari Bitcoin Cash, menerapkan metode Segregated Witness (SegWit) yang meningkatkan efisiensi kapasitas blok. Setelah SegWit berhasil diterapkan, muncullah proposal yang bernama Lightning Network (LN) besutan Joseph Poon dan Thaddeus Dryja. Poon dan Dryja menyempurnakan teknik microtransaction dan trustless fair exchange, serupa dengan yang ada di CoinJoin dari Gregory Maxwell, yang diterapkan ke dalam sebuah jaringan off-chain (di luar blockchain) baru. Jaringan ini berkomunikasi dengan blockchain utama Bitcoin hanya pada saat settlement akhir saja, sementara semua transaksi sementara, direkam dalam basis data terpisah.

Dengan mengurangi jumlah informasi yang harus disimpan di dalam blockchain utama, LN disebut-sebut sebagai kunci skalabilitas Bitcoin. Tidak hanya itu, biaya transaksi yang ditanggung oleh pengguna juga berkurang drastis, karena basis data off-chain tidak memakan sumber daya jaringan blockchain sama sekali. Berbagai simpul (node) LN muncul setelah LN diluncurkan dan mulai menawarkan layanan kepada para pengguna bitcoin. Dengan menggunakan jaringan LN, para pengguna bitcoin masih tetap dapat bertransaksi bitcoin satu sama lain dengan wallet khusus yang disediakan. Pengguna bitcoin senang, karena ongkos transaksi hampir nol.

Premis-premis di atas tampak amat sehat bagi platform bitcoin. Skalabilitas dicapai tanpa harus mengubah protokol utama Bitcoin. Hanya saja, patut juga kita berandai-andai. Menurut model penambangan yang dibuat oleh Satoshi, pada tahun 2140 penambangan bitcoin akan menambang koin terakhir. Setelahnya, sistem bitcoin akan bergantung pada ongkos transaksi yang dibayarkan oleh pengguna agar para penambang tetap menjalankan kegiatannya.

LN akan membuat semuanya sulit. Jumlah transaksi barangkali tidak akan sebanyak yang dibayangkan. Sebuah penelitian telah memodelkan apa yang terjadi pada bitcoin pasca 2140, dan hasilnya cukup mengkhawatirkan. Tanpa adanya subsidi yang diberikan oleh sistem kepada penambang dalam bentuk koin baru, maka kegiatan penambangan akan merosot tajam, sehingga sistem Bitcoin terekspos masalah keamanan yang selama ini tidak pernah menjadi ancaman serius untuk Bitcoin, semisal 51% attack ataupun selfish mining.

Setelah tiadanya subsidi, maka jumlah transaksi yang diyakini akan merosot tajam dalam blockchain utama Bitcoin akan diikuti dengan profit bitcoin yang tidak seberapa, membuat biaya operasional penambangan menjadi tidak rasional lagi. Padahal, keamanan blok dalam Bitcoin amat bergantung pada besarnya kekuatan komputasi yang ada di dalam sistem.

LN kini menjadi idola baru di komunitas bitcoin. Tetapi jangan pernah terlena, karena LN bisa menjadi pedang bermata dua: memperkuat bitcoin sekaligus membunuh ekosistem bitcoin. Perlahan tapi pasti, LN akan menjadi masalah baru dalam bitcoin bila tidak ditangani dengan tepat.

Atau mungkin kita harus mulai memindahkan kekayaan kita dari Bitcoin Core ke Bitcoin Cash? []

Comments are closed.