Mengapa Bank Indonesia Melarang Bitcoin?

Pada tahun 2014, Bank Indonesia menerbitkan maklumat maha penting terkait Bitcoin. Lembaga negara itu melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran (legal tender) di seluruh wilayah Indonesia. Hingga detik ini, Bank Indonesia belum mencabut “larangan” itu.

Tak heran pada tahun 2018, Bank Indonesia sudah merazia sejumlah gerai di Bali yang menawarkan pembelian produk menggunakan Bitcoin. Bank Indonesia tetap dalam posisi pernyataannya:

Memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No. 23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, Bank Indonesia menyatakan bahwa Bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati terhadap Bitcoin dan virtual currency lainnya. Segala risiko terkait kepemilikan/penggunaan Bitcoin ditanggung sendiri oleh pemilik/pengguna Bitcoin dan virtual currency lainnya.

Sebutan legal tender menyangkut pada kedigdayaan mata uang resmi negara ini, yakni rupiah. Artinya, dalam perdagangan apapun, baik barang ataupun jasa harus menggunakan rupiah, di seluruh Nusantara. Jadi, tidak boleh menggunakan dolar AS untuk membeli secangkir kopi di sebuah kafe.

Namun, ceritanya berbeda jikalau uang rupiah dijadikan alat untuk membeli uang dolar AS (proses menukar). Kalau ini jelas tidaklah dilarang karena punya dasar peraturannya. Anda bisa bebas membeli dolar di sejumlah exchanger di tanah air, lalu menjualnya di kemudian hari. Layanan seperti ini juga ada bank-bank biasa di Indonesia.

Lantas, bagaimana dengan Bitcoin? Di luar larangan Bank Indonesia itu, Bitcoin (walaupun Bappebti menyebutnya sebagai komoditi, sehingga disebut aset digital: aset kripto), jelas-jelas ia memiliki karakteristik sebagai alat pembayaran, berkat teknologi blockchain-nya.

Tapi apalah lacur, objek yang bernilai harus pula tunduk pada peraturan yang berlaku di negeri-negeri tertentu, termasuk di Indonesia.

Itulah sebabnya, pada tahun 2018, sejumlah toko online di Indonesia langsung mencabut metode pembayaran Bitcoin dari website-nya, karena pada tahun itu pula Bank Indonesia terus menggemakan soal larangan itu.

Sampai di situ tak ada masalah. Selesai dan bersih, sehingga saya sendiri tak bisa membeli kaos di sebuah toko online terkenal menggunakan Bitcoin.

Masalah muncul, ketika perusahaan payment processor ternama, seperti VISA dan MasterCard memutuskan bekerjasama dengan beberapa perusahaan untuk menerbitkan kartu debit “berisi Bitcoin” atau jenis aset kripto lainnya.

Ini yang memungkinkan, termasuk warga Indonesia, untuk membeli kartu debit itu, mengisinya di online merchant tertentu, lalu menggunakannya untuk berbelanja.

Bahkan beberapa layanan memungkinkan itu untuk membayar tagihan listrik, kartu kredit dan lain sebagainya.

Langkah itu tentu menggembirakan jikalau ditilik dari upaya perluasan adopsi Bitcoin sebagai “alternatif alat pembayaran” di luar mata uang yang diterbitkan oleh negara seperti rupiah.

Kemarin misalnya, bursa aset kripto Binance mengumumkan akan menerbitkan kartu debit kripto bersaldo Bitcoin dan Binance Coin.

Katanya akan dimulai di Malaysia untuk membeli beragam produk dan jasa secara online. Binance menyebutnya sebagai Binance Crypto Card.

Malaysia tentu saja pilihan terbaik, mengingat negara itu masih mengizinkan penggunaan Bitcoin untuk jual-beli barang secara online, termasuk offline.

Pun Malaysia terkenal soal adopsi teknologi keuangan, seperti yang disebutkan oleh IMF beberapa bulan lalu, dalam konteks fintech. Malaysia tentu saja melihat itu sebuah peluang, bukan sebagai ancaman terhadap ringgit. Tetapi, mungkin, dalam ruang lingkup yang juga terbatas.

Saya mulai merasa langkah Binance itu akan meluas di wilayah Indonesia, ketika sudah ada satu situs khusus yang mengadopsinya. Dan itu sedang terjadi, karena kelak memungkinkan Anda menggunakan kartu debit kripto itu untuk membayar tagihan kartu kredit, sampai melakuan top up saldo Go-Pay, Grab-Pay dan OVO.

Di awal-awal ia website itu diluncurkan, ia menggunakan kata-kata “Pay”. Namun, terpantau saat ini ternyata ada langkah “penyesuaian”, berubah menjadi “top-up“, khususnya untuk membayar tagihan kartu kredit.

Penyesuaian “nomenklatur” sangat penting di sini untuk menghindari sorotan.

Kesimpulannya tetap, bahwa inovasi akan terus bertempur dan bersinggungan dengan regulasi. Dan itu fakta peradaban manusia.

Bahwa berharap Bank Indonesia mengambil tindakan terhadap website seperti itu, maka perlu rujukan dan argumentasi yang amat kuat “mengapa tidak boleh?”. Demikian pula dengan pihak penyedia website itu sendiri.

Itulah pula sebabnya ruang lingkup aset kripto, entah pula ia disebut “mata uang kripto”, teramat luas dan multi-facet, sehingga teramat sulit pula ia dikategorikan dengan aturan yang sudah ada.

Di Indonesia, oleh Bappebti ia disebut sebagai intangible commodity yang layak dijadikan sebagai subjek perdagangan di bursa berjangka. Akhirnya Bitcoin dan sanak saudaranya di Indonesia masuk ke dalam kategori khusus di bawah itu, yakni digital asset: crypto asset.

Dan itu jelas dalam rangka menyempitkan penggunaan Bitcoin sendiri, agar tidak menjadi “alat pembayaran”, tetapi “subjek perdagangan”. Itu adalah langkah tengah, sehingga Bank Indonesia dan OJK sedikit punya peran di dalamnya, melainkan oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan.

ICO dan IEO
Namun di sisi lain, itu pula yang tidak menjelaskan soal mekanisme Initial Coin Offering (ICO) yang juga marak di Indonesia, termasuk mekanisme IEO (Exchange Initial Offering) yang digelar di sejumlah bursa aset kripto di Indonesia.

Jadi, di satu sisi Bitcoin mungkin “tak abu-abu metalik lagi” lewat peraturan Bappebti, tapi di sisi lain ada yang masih berwarna “abu-abu gelap”.

Nah, soal ini ICO itu, Malaysia dan Singapura lebih punya batasan sendiri, yakni siapapun penyelenggaranya, harus mengembalikan (buy back) token ataupun coin yang ditawarkan kepada investor, jikalau tidak memberikan imbal hasil seperti yang dijanjikan atau karena faktor lainnya.

Dan perusahaan penyelenggaranya harus benar benar berizin dan terdaftar. Di Malaysia, soal itu dikendalikan langsung oleh Komisi Sekuritas.

Ini yang tak terjadi di Indonesia, karena banyak startup yang mengaku asli berbadan hukum di Indonesia, tetapi menggelar ICO dan IEO, menjual beraneka coin dan token, lalu diperdagangkan di bursa aset kripto lokal.

Nah, ketika investor (yang membeli itu) merasa rugi, karena volume perdagangan rendah dan tidak ada maker maker-nya, lantas bagaimana?

Ya, adalah benar perdagangan aset kripto sangat berisiko dan sepenuhnya spekulatif, tetapi justru karena itu pula negara harus benar-benar hadir mengatur soal mekanisme jualan aset kripto melalui ICO dan IEO itu, khususnya ketika yang penerbitnya adalah startup asal Indonesia. Menuju abu-abu metalik. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait