Satu Dunia Satu Mata Uang: Paypal vs Bitcoin

Visi awal Paypal sebenarnya adalah menciptakan mata uang global yang merdeka dari campur tangan kartel perbankan dan pemerintah. Hal itu disampaikan oleh co-founder PayPal Luke Nosek pada sebuah panel diskusi di acara World Economic Forum (WEF) beberapa waktu lalu.

Kendati Paypal berhasil mencapai inovasi penting di abad ini, perusahaan itu gagal mencapai visi aslinya. Akibat desakan dari investor awal, para pendiri Paypal tidak sanggup mewujudkan cita-cita menciptakan mata uang yang desentralistik. Akhirnya Paypal tumbuh dan berkembang secara sentralistik sehingga dapat bekerjasama dengan Visa, Mastercard, Swift serta mematuhi sejumlah hukum internasional soal pengiriman uang lintas negara.

Paypal sukses membuat jaringan pembayaran yang bisa diakses sebagian besar dunia. Tetapi akses tersebut dapat ditutup oleh pemerintah sewaktu-waktu. Ribuan pengguna Paypal di Turki menjadi korban ketika Paypal menutup operasinya di negara tersebut, karena Turki mewajibkan Paypal membangun pusat data di sana.

Selain Turki, tidak sedikit negara yang tidak bisa mengakses Paypal, di antaranya adalah negara-negara korban sanksi Amerika Serikat, seperti Kuba, Myanmar, Pakistan dan Afghanistan. Sanksi AS berniat menghukum oknum jahat di sistem politik internasional, tetapi justru menuai banyak kritik dan justru menghasilkan efek samping buruk. Dengan kata lain, pemblokiran akses terhadap Paypal bisa dijadikan sebagai “senjata” menyerang sebuah negara berdaulat.

Kendati demikian, akar permasalahannya bukanlah sanksi ekonomi, melainkan pemerintah yang otoriter. Menurut Human Rights Foundation, lebih dari 50 persen penduduk dunia hidup di bawah rezim otoriter. Bagi warga negara otoriter yang tidak bisa mengakses pembayaran digital seperti Paypal, Bitcoin menjadi solusi yang semakin populer.

Sebab siapapun yang memiliki sambungan Internet dan peranti lunak dompet dapat mengirim dan menerima Bitcoin, aset kripto ini semakin digemari di wilayah-wilayah rezim otoriter. Di Kuba, diperkirakan 10 ribu warga memakai Bitcoin untuk mengakali pembatasan ekonomi agar bisa belanja secara daring (online), memesan hotel hingga membayar tagihan telpon.

Permasalahan lain adalah ekonomi negara-negara seperti Turki telah lama dirusak oleh korupsi dan inflasi tinggi. Pelarangan teknologi keuangan hanyalah salah satu hambatan di antara banyak hambatan bagi warga. Sebab itu, warga Turki termasuk yang paling banyak menyimpan dana dalam bentuk aset kripto.

Bitcoin semakin tenar di negara-negara yang melarang Paypal. Di Afghanistan, sebuah organisasi nirlaba memakai Bitcoin untuk membayar pekerja wanitanya.

“Paypal tidak ada di Afghanistan dan Western Union sangat mahal biayanya. Akhirnya kami memakai Bitcoin untuk membayar pekerja,” sebut organisasi itu.

Di sisi lain, Bitcoin tidak sempurna, ada beragam masalah yang membuatnya tidak mudah menjadi sistem uang global. Namun paling penting, Bitcoin bisa dipakai siapa saja, kapan saja, tanpa keterbatasan.

CEO Paypal Dan Schulman meyakini Bitcoin bukanlah pesaing Paypal, sebab volatilitasnya membuat Bitcoin enggan diterima pemilik usaha daring. Peter Thiel, co-founder Paypal, melihat Bitcoin sebagai emas digital dan sulit dipakai untuk pembayaran digital sehari-hari.

Pengembangan dan geopolitik pun dianggap akan terus menumbuhkan nilai Bitcoin sebagai alat simpan nilai. Di saat yang bersamaan, Bitcoin juga memenuhi visi asli Paypal, yaitu untuk membuat uang digital yang dikendalikan oleh individu, bukan pemerintah. [medium.com/@burningw0rds/ed]

Terkini

Warta Korporat

Terkait