Terjerat Kasus Bitcoin Rp1,3 Triliun, Pria AS Ini Mengaku Informan CIA

Terjerat kasus Bitcoin senilai US$94 juta (Rp1,3 triliun), pria AS ini malah mengaku sebagai informan CIA. Kasusnya berpangkal tahun lalu, dan kini terancam hukuman penjara selama 20 tahun.

Pria itu bernama Vitalii Antonenko (28 tahun), warga asli New York. Sebelumnya ia dituduh melakukan peretasan dan perdagangan kartu kredit dan pencucian uang dengan Bitcoin

Vitalii ditangkap pada Maret 2019 lalu di Bandar Udara John F Kennedy di New York, setelah ia berkunjung dari Ukraina. Setelah diselidiki, ia terbukti memiliki dua dompet Bitcoin senilai US$94 juta. Menurut petugas, transaksi Bitcoin dinilai gelap alias ilegal, sehingga dianggap melakukan tindak pidana pencucian uang (money laundering)

Pada Rabu (27 Mei 2020) minggu ini, kejaksaaan di Boston menjatuhkan ancaman penjara kepada Vitalii selama 20 tahun ditambah denda hingga US$500.000.

Menurut dakwaan jaksa, Vitalii bersama rekannya melakukan peretasan ke sejumlah komputer untuk mencuri informasi kartu kredit dan debit. Mereka kemudian menjual informasi yang dicuri itu di dark net dengan bayaran berupa Bitcoin.

Jaksa menyebutkan semua dompet terkait transaksi itu, sepenuhnya dikendalikan oleh Vitalii.

Informan CIA
Hal menarik, berdasarkan informasi dari pengacara Vitalii adalah, kliennya itu diduga memiliki kesulitan berkomunikasi. Sehingga, pengacara memohon kepada jaksa agar Vitalii diperiksa oleh seorang psikiatris.

Bahkan Vitalii mengaku kepada pengacaranya, bahwa dia sebenarnya adalah informan CIA terkait kejahatan siber.

Tumbuh Subur
Kejahatan siber kian tumbuh subur, terlebih-lebih ketika popularitas aset kripto seperti Bitcoin kian meningkat.

Perusahaan keamanan siber Chainalysis mengatakan total penjualan di dark net tumbuh 70 persen pada tahun 2019 menjadi lebih dari US$790 juta dalam bentuk Bitcoin dan aset kripto lainnya.

“Kejahatan terkait aset kripto kemungkinan akan terus berkembang baik dalam ruang lingkup dan kecanggihan teknologi, seperti halnya aset kripto itu sendiri,” kata Chainalysis.

Bagi pelaku kejahatan yang “kurang berpengalaman” Bitcoin disangka bisa menyembunyikan identitas pelaku. Padahal transaksi Bitcoin bersifat “pseudononim”, di mana identitas pengguna tidak sepenuhnya tersamarkan, terlebih-lebih ketika ketika ia menjual Bitcoin menjadi uang biasa, seperti dolar AS ataupun rupiah.

Di saat yang sama pihak berwenang yang bekerjasama dengan perusahaan swasta terus mengembangkan teknologi terkini untuk mengendus secara mudah aksi kejahatan seperti itu.

“Ketika penegak hukum, regulator dan profesional di sektor aset kripto semakin meningkatkan kemampuan mereka untuk mencegah dan menanggapi berbagai bentuk kejahatan terkait aset kripto, maka para penjahat itu sendiri juga akan tumbuh lebih canggih,” sebut Chainalysis. [Forbes/red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait