Sejumlah data menunjukkan Amerika Serikat di ambang resesi ekonomi berikutnya, yang bisa berdampak secara global. Sejumlah ahli bahkan berpendapat resesi itu akan terjadi pada tahun 2020. Bagaimana nasib Bitcoin yang disebut-sebut sebagai safe haven? Nah, mengingat Bitcoin belum teruji dalam situasi resesi global, namun sejumlah data historis menunjukkan Bitcoin memberikan imbal hasil lebih tinggi ketika situasi ekonomi sedang lesu. Di sinilah bukti bahwa ketika uang fiat meradang, bitcoin tak tergoyang.
Dilansir dari CNBC Indonesia, pada November 2018, disebutkan pasar saham anjlok, karena investor pindah ke obligasi negara dan imbal hasil utang perusahaan yang membengkak lebih tinggi. Pandangan investor, pada kenyataannya, mungkin, bahkan lebih suram daripada para ekonom.
Goldman Sachs dan JP Morgan melihat pertumbuhan melambat menjadi di bawah 2 persen pada paruh kedua tahun 2019. Tetapi pada saat yang sama, kedua perusahaan itu memperkirakan Federal Reserve menaikkan suku bunga empat kali, sementara para ekonom lainnya percaya The Fed mungkin harus bergerak dengan lebih lambat.
Para ekonom menunjukkan sejumlah faktor pertumbuhan yang lebih lambat, tetapi pemuncak daftar faktor yang menakutkan bagi pasar adalah kenaikan suku bunga The Fed serta dampak dari tarif impor dan perang perdagangan. Para ekonom tidak memperkirakan resesi terjadi pada tahun 2020.
“Itu tergantung pada Fed. Jika mereka terus mengikuti lintasan saat ini (kenaikan suku bunga), saya pikir (ada resesi di) paruh pertama tahun 2020,” kata Joseph LaVorgna, kepala ekonom Amerika di Natixis, dilansir dari CNBC International. LaVorgna memperkirakan pertumbuhan 2,5 persen tahun depan, meskipun lebih lambat di paruh kedua.
Dalam situasi resesi, harga indeks saham akan jatuh cukup dalam dan investor mengalihkan uangnya ke jenis aset lain, seperti emas. Resesi ekonomi di Negeri Paman Sam itu tentu membawa dampak pada situasi ekonomi global termasuk Indonesia, seperti resesi tahun 2008 silam, di mana sejumlah mata uang negara lain mengalami pelemahan terhadap dolar AS.
Emas masih menjadi pilihan utama. Namun, sejak tahun 2013 harga emas justru trun dan kini relatif stabil. Bagaimana dengan Bitcoin? Bitcoin diperkenalkan oleh Satoshi Nakamoto pada tahun 2008 sebagai sistem pembayaran lintas negara melalui Internet secara peer-to-peer. Karena Bitcoin tidak dikendalikan oleh negara, maka nilainya relatif independen terhadap situasi ekonomi mikro dan makro. Artinya ia berdiri sendiri berdasarkan hukum permintaan dan penawaran.
Mudahnya sebut saja ia spekulatif, tetapi diadopsi secara mantap oleh sejumlah besar perusahan, seperti Ameritrade, E*trade, Fidelity Investment, CME, Nasdaq. Adopsi ini kian menguatkan tingkat likuiditasnya di tingkatan global. Artinya Bitcoin tahun 2019 jelas berbeda dengan tahun 2017, di mana pemain ritel lebih banyak. Hari ini sejumlah produk terkait Bitcoin juga digemari oleh kalangan institusi sebagai kelas aset baru yang menjanjikan.
Namun, mengingat karakteristik Bitcoin seperti emas, yakni ada pengurangan suplai dan jumlahnya terbatas, maka nilai Bitcoin sangatlah unik. Ini berbeda dengan uang fiat yang sejatinya tak terbatas, sehingga rentan terhadap inflasi dan menekan nilainya ketika ada gejolak ekonomi, terlebih-lebih uang fiat digunakan di pasar modal, di mana ada uang publik yang dipertaruhkan di dalamnya.
Berdasarkan penelitian Grayscale terbaru, untuk menandai besaran krisis, dapat mengacu pada derajat liquidity risk (resiko sejumlah aset turun besar berbanding harga belinya). Salah satu komponen untuk mengukurnya adalah besaran utang dalam sistem keuangan. Grayscale mengacu pada rasio utang global tahun 2018, yang sudah mencapai US$250 triliun dan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 300 persen. Jelas Grayscale, kendati volatilitas mengecil pada beberapa tahun belakang, namun resiko likuiditasnya masih tinggi.
Nah, bagaimana performa Bitcoin terhadap resiko likuiditas aset-aset lain? Grayscale mengambil 5 contoh terbaik berikut ini.
Utang Tinggi Yunani
Peristiwa ditutupnya semua bank di Yunani selama 3 minggu pada tahun 2015, gara-gara semakin banyak warga Yunani yang menarik uang secara tunai. Hal itu disebabkan Pemerintah Yunani gagal membayar utang luar negerinya, ditambah isu Yunani ingin keluar dari Uni Eropa. Kekacaubalauan terjadi hingga tiga bulan lamanya. Ketika sebagian besar harga indeks saham dan mata uang ikut merosot, Bitcoin malah mampu cetak untung hingga 28 persen pada periode 20 April-10 Juli 2015. Sedangkan aset lainnya rata-rata minus 1,7 persen. Bitcoin hanya bersaing dengan poundsterling dengan raihan 4,1 persen.
Yuan Dilemahkan Sang Tuan
Pada Agustus 2015-Desember 2016, Bank Sentral Tiongkok memutuskan memotong suku bunga acuannya sebesar 1,9 persen. Tapi investor pasar modal di negeri itu sudah keburu menjual aset-aset berisikonya. Pada periode 20 Agustus 2015-20 Januari 2016, Bitcoin memberikan imbal hasil hingga 53 persen (10 Agustus-20 Januari 2016). Sedangkan kelas aset lainnya rata-rata minus 10 persen. Hingga Desember 2016 pula nilai mata uang yuan melemah hingga 11 persen terhadap dolar AS. Inilah pendorong pembelian Bitcoin untuk melindungi nilai uangnya.
Gerimis “Brexit” di Inggris
Pada 24 Juni 2016 Inggris membuat dunia terperanjat, ketika hasil referendum menunjukkan bahwa rakyat Inggris ingin terpisah dengan Uni Eropa (Brexit). Satu hari setelah pengumuman itu, harga poundsterling ambruk hingga minus 8,1 persen dan euro jatuh tak terbendung hingga minus 2,4 persen. Sementara itu Bitcoin bullish dengan imbal hasil hingga 7,1 persen. Bitcoin hanya bersaing ketat dengan Indeks harga emas COMEX, yakni 4,7 persen dan yen 3,9 persen. Hingga akhir tahun 2016, poundsterling dan euro terus melemah.
Gara-gara Bapak TrumpÂ
September-Desember 2016 terjadi gonjang-ganjing politik seputar pemilihan Presiden Amerika Serikat plus situasi geopolitik global. Dua bulan sebelum pemilu presiden, suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS melebihi ekspektasi para pelaku pasar. Aksi jual saham dan aset berisiko tinggi lainnya pun tak terbendung. Pada periode 7 September 2016-10 November 2016 Bitcoin mampu memberikan imbal hasil hingga 17,2 persen. Di posisi kedua ditempati oleh Bloomberg Comodity Index 0,5 persen, selebihnya justru rata-rata minus 3,5 persen.
Goyangan Perang Dagang
Ketegangan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok turut mendorong banyak orang membeli Bitcoin. Sebenarnya ketegangan itu dimulai pada 2017, lalu dipertegas pada 5 Mei 2019, di mana Presiden Trump memerintahkan kenaikan bea masuk barang-barang impor dari Tiongkok dari 10 persen menjadi 25 persen. Hal itu mendorong kenaikan Bitcoin hingga memberikan imbal hasil hingga 47 persen pada periode 5 Mei-31 Mei 2019. Yen Jepang hanya memberikan 2,1 persen, sedangkan yang lainnya rata-rata minus 2 persen.
Grayscale menyimpulkan, kendati Bitcoin menguat, khususnya ketika terjadi devaluasi mata uang fiat, bukan berarti Bitcoin dapat disebutkan sebagai “investable asset“. Tetapi, fakta demikian menunjukkan Bitcoin sangat tangguh menghadapi situasi makro ekonomi yang melemah dan Bitcoin memberikan imbal hasil lebih tinggi berbanding jenis aset lain dan mata uang fiat lain. [ed]
Grayscale Hedging Global Li… by Blockchain Media Indonesia on Scribd