Bagaimana Inflasi dan Decoupling Pasar Saham dan Kripto Dapat Memicu Adopsi Bitcoin?

Situasi inflasi yang berkepanjangan alias stagflasi dan decoupling dapat memicu adopsi kripto dan Bitcoin menjadi lebih besar. Bagaimana dan mengapa itu bisa terjadi?

Kebijakan moneter yang sangat agresif oleh sejumlah bank sentral untuk melawan inflasi, kemungkinan besar akan membawa kita ke situasi stagflasi, berikut adanya decoupling antara pasar saham dan kripto, yang pada ujungnya dapat memicu kuat adopsi Bitcoin secara global. Bagaimana skenario ini bisa terjadi?

Apa Itu Stagflasi?

Stagflasi sebagai periode panjang ketika perekonomian mengalami inflasi yang terus-menerus tinggi, tingkat pengangguran yang tinggi, dan permintaan rata-rata konsumen yang stagnan.

Stagflasi adalah adalah masa ketika bank sentral di sejumlah negara mengalami situasi seperti di permain catur, yakni “zugzwang”. Itu adalah kondisi ketika langkah yang memang seharusnya dilaksanakan, justru berdampak buruk pada dirinya sendiri. Sederhananya, ini adalah kontradiksi plus ibarat memakan buah simalakama; maju tampak benar, mundur adalah keliru.

Pasar Kripto dan Saham Terkoreksi Hebat Menjelang Putusan Bank Sentral AS, Rabu Ini, Setara Tahun 2018?

Jadi dalam hal itu, dari sejumlah kebijakan moneter oleh bank sentral yang dimaksudkan untuk mengendalikan kenaikan inflasi, justru menyebabkan pengangguran yang lebih tinggi dan produksi ekonomi yang lebih rendah. Itu akan sangat buruk, ketika kebijakannya terlalu agresif dan sekarang sedang terjadi saat ini.

Stagflasi Mendorong Lemahnya Daya Beli Sementara

Inflasi di negara-negara berkonomi besar saat ini berada pada tingkat tertinggi selama beberapa tahun. Di Amerika Serikat misalnya tingkat inflasi tahunan sebesar 8,5 persen pada Maret 2022, sedangkan di Zona Euro inflasi tahunan mencapai 7,4 persen. Sedangkan di Inggris, tingkat inflasi Maret 2022 adalah 7 persen. Meningkatnya biaya energi, hasil konflik Rusia-Ukraina, sebagian besar telah berkontribusi pada kenaikan tingkat inflasi di sebagian besar negara-negara itu.

Apa pangkalnya? Sejak dimulainya pandemi COVID-19 pada Maret 2020, ekonomi global negara besar telah menerapkan kebijakan uang mudah alias suku bunga yang rendah. Itu gunanya untuk mendorong pemulihan ekonomi, suku bunga sangat rendah dan program pembelian aset besar-besaran dilaksanakan. Ini memungkinkan arus modal masuk ke pasar saham dan kripto, karena pasokan dolar lebih banyak daripada sebelumnya.

Pada Maret 2020 Bank Sentral AS memangkas suku bunga ke kisaran 0,1 hingga 0,25 persen sebelum mulai menaikkannya bulan lalu ke 0,50 persen saat ini. Tingkat ini diperkirakan akan dinaikkan sebesar 1,0 persen pada pertemuan berikutnya, yang dijadwalkan pekan ini, Rabu (4 Mei 2022) waktu setempat.

Selama dua tahun terakhir, Amerika Serikat telah menggelontorkan dolar lebih dari US$13 triliun dalam bentuk pengurangan utang, infrastruktur, dan pengeluaran stimulus ekonomi. Itu dilakukan dalam tiga tahap, yakni pada April 2020, Desember 2020 dan Maret 2021.

Banjir dolar itu memang perlu waktu beberapa bulan untuk dapat disebutkan berdampak pada tingginya inflasi. Dan itu kemungkinan uang yang dicetak pada tahun 2021 belum masuk ke pasar. Itulah yang sepenuhnya tercermin dalam angka inflasi saat ini di AS. Ini juga berlaku untuk negara ekonomi besar lainnya. Mereka juga telah mencetak uang dan mempertahankan suku bunga pada tingkat terendah dalam beberapa tahun. Artinya, tingkat inflasi yang akan dilaporkan resmi oleh sejumlah negara mulai bulan ini, akan jauh lebih besar, karena dolar dan fiat money lainnya, masih terdampar di luar sana, menanti ditarik kembali.

Bank of America: Potensi Resesi Semakin Besar, Kripto Bisa Menguat Kalahkan Saham

Nah, perhatikan, bahwa tekanan inflasi jelaslah mengikis daya beli konsumen, dan mempengaruhi kas rumah tangga serta nilai tabungan. Orang-orang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk pembayaran bunga karena bank sentral terburu-buru menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Akibatnya, mereka memiliki pendapatan yang lebih sedikit, yang mengurangi permintaan rata-rata konsumsi. Singkat kata, uang tidak mudah keluar begitu saja dari kantong masyarakat alias aksi kencangkan tali pinggang.

Decoupling dan Skenario Adopsi Kripto dan Bitcoin Kuat

Ketika permintaan konsumen rata-rata menurun, pendapatan penjualan perusahaan turun, ini menghasilkan nilai saham yang lebih rendah. Selain itu, dengan naiknya suku bunga, masyarakat didorong untuk menabung lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan dari bunga yang tinggi dan stabil itu.

Ini menyiratkan bahwa negara-negara dunia pertama sedang menuju ke arah stagflasi dan nilai mata uang negara-negara berkembang bisa tertekan, karena dolar juga sedang mengaut.

Nah, Bank Sentral AS, Inggris dan Eropa, serta bank sentral utama lainnya agresif menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, maka pinjaman akan menjadi mahal dan pasar saham akan melemah.

Di sinilah skenario, bahwa investor akan semakin mempertimbangkan Bitcoin (BTC) yang sekarang sedang terpuruk sementara, sebagai pilihan yang layak untuk mengamankan nilai keuangan, karena aset lain dapat menjadi berisiko buruk dari waktu ke waktu. Lagi-lagi inilah yang telah diramalkan oleh Bank of America beberapa waktu lalu.

Sebelum November 2021, menurunnya nilai mata uang yang disebabkan penerbitan yang sangat melimpah, sudah membuat orang menjauh dari dolar AS, euro, dan mata uang fiat lainnya. Tak heran, Rusia dan Tiongkok sendiri sudah mulai membuang dolar dari cadangan devisanya. Bahkan negara lain lebih memilih berdagang antar negara dengan tidak menggunakan dolar, melainkan mata uang negara masing-masing. Lihatlah antara Indonesia dan Tiongkok.

Ketika stagflasi terjadi, maka pasar modal (efek) dapat berubah menjadi bearish, karena pendapatan perusahaan memburuk dari waktu ke waktu. Ingat, di sini daya beli konsumen turun. Nah, ketika biaya modal perusahaan meningkat, maka investor akan menilai saham semakin turun nilainya dan memilih menghindarinya.

Di masa stagflasi dan pasar saham melemah, investor terpaksa mencari tempat yang aman untuk menyimpan dan melindungi aset mereka. Terlepas dari kenyataan bahwa Bitcoin belum dipisahkan dari saham teknologi, ada peluang bagus bahwa momentum bearish lebih lanjut pada saham-saham ini akan menghasilkan decoupling.

Decoupling adalah situasi ketika antara pasar saham dan pasar kripto berangsur tak lagi berkorelasi positif, berbanding terbalik dengan pada puncaknya pada akhir tahun 2021.

Indikator lain untuk skenario itu, adalah fakta bahwa arus Bitcoin yang masuk ke bursa kripto besar justru menyusut sebesar 18 persen pada April 2022 dibandingkan dengan Mei 2020. Karena saldo BTC ini terus menyusut, likuiditas Bitcoin yang rendah dapat menyebabkan harga Bitcoin menjadi lebih fluktuatif, yang pada ujungnya akan mengakibatkan decoupling.

Potensi pemisahan korelasi dengan pasar modal tradisional ini dapat menunjukkan, bahwa adopsi Bitcoin yang meluas semakin cepat, sedangkan inflasi yang panjang dapat terus menjadi faktor fundamental yang mendasari yang mendorong adopsi kripto, termasuk Bitcoin. Hanya saja, perlu waktu beberapa bulan hingga skenario itu terlihat. Koreksi saat ini sejatinya adalah masa transisi dan mulainya akumulasi. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait