Bitcoin US$19 Ribu, Tebas Kinerja Emas

Hari ini, Selasa (24/11/2020), pukul 16:50 WIB, harga Bitcoin naik lagi menjadi US$19.000 (lebih Rp269 juta) per BTC. Itu adalah harga tertinggi baru selama tahun 2020, sekaligus mencerminkan bull run pada medio Desember 2017 silam. Bitcoin pun resmi menebas kinerja emas, yang dianggap unggul sebagai aset safe haven.

Sekali lagi, posisi teranyar itu juga praktis membuka peluang sangat lebar menuju US$19.646-20.000 (lebih dari Rp284 juta), sebagai harga tertinggi sepanjang masa.

Selama November 2020 ini saja, Bitcoin diapresiasi lebih dari 40 persen (setara sekitar Rp78 juta).

Sebelumnya, pada Jumat, 20 November 2020, pukul 23:14 WIB, Bitcoin melejit menjadi US$18.825, menandakan arus modal yang sangat besar dan cepat masuk ke Raja Aset Kripto itu.

Di saat yang sama, secara year to date, emas malah kurang diapresiasi, kalah telak di kisaran US$1.811 per troy ons.

Selama tahun ini, emas hanya memberikan imbal hasil 19,3 persen dan selama setahun hanya 23,86 persen. Bahkan selama 3 bulan terakhir, malah boncos -6,38 persen!

Sedangkan Bitcoin, dengan kesuksesan menyentuh US$19.000 hari ini, maka Bitcoin sepanjang tahun ini naik lebih dari 167 persen.

Kinerja Bitcoin berbanding emas selama tahun 2020. Sumber: Tradingview.com.

Jauh sebelum gegap gempita itu, berdasarkan sejumlah kajian, Bitcoin diramalkan akan terus menguat pada tahun-tahun mendatang.

Penyebab utama adalah soal potensi inflasi yang buruk di masa depan akibat penerbitan dolar AS yang kian banyak ke dalam ekonomi global. Peristiwa yang tak wajar ini justru membawa pelemahan terhadap dolar. Indeks Dolar AS (DXY) sepanjang tahun ini saja sudah minus 4 persen.

Lebih dari US$100 Ribu per BTC
Sebelumnya, Analis Bloomberg Intelligence, Mike McGlone berpendapat harga Bitcoin bisa mencapai US$170 ribu per BTC pada tahun-tahun mendatang.

Pernyataan itu menegaskan kajiannya pada awal Oktober 2020 lalu, bahwa Bitcoin bisa menyentuh US$100 ribu pada tahun 2025.

“Bitcoin dapat terus eksis seperti saat ini dan akan terus didopsi. Namun kecepatannya terlihat lebih lambat,” kata Mike McGlone Analis Bloomberg Intelligence, 5 Oktober 2020 lalu.

Menurutnya, Bitcoin mendapatkan 1 angka nol (0) pada harganya ketika tahun 2011. Butuh waktu sekitar empat tahun untuk beralih dari US$1.000 menjadi US$10.000 pada tahun 2017.

“Menggunakan pola itu, maka harga Bitcoin bisa menjadi US$100.000 sekitar lima tahun lagi. Memang ada anggapan bahwa Bitcoin bisa gagal, tetapi indikator kami mengatakan sebaliknya,” katanya.

Basis Bitcoin masih kokoh untuk penguatan harga, jika sejarah harganya dijadikan acuan. Sejak lahir dan ketika mencapai US$10.000 pada 2017, Bitcoin terkoreksi sangat dalam sekitar 70 persen. Namun ia tetap dalam periode konsolidasi yang lama.

Ketika Bitcoin pertama kali diperdagangkan pada US$1.000 pada tahun 2013, itu terkoreksi sekitar 80 persen dan terkonsolidasi lagi. Sekitar empat tahun setelah awalnya mencapai US$1.000, satu nol pun bertambah menjadi US$10 ribu.

“Mempertimbangkan pematangan normal, sekitar dua kali lipat kerangka waktu dari US$1.000 menjadi US$10.000, maka sekitar tahun 2025 Bitcoin berpotensi menambah angkal nol-nya lagi [yakni US$100 ribu-Red],” sebutnya.

Grafik yang menunjukkan Bitcoin vs. volatilitas pasar

Kapitalisasi Pasar Naik, Permintaan Juga Naik
Investasi besar terhadap Bitcoin oleh MicroStrategy pada kuartal ketiga 2020 mungkin adalah adopsi besar oleh entitas tradisional, kata McGlone.

“Dengan kurang dari US$200 miliar, pasar Bitcoin terlalu kecil untuk banyak institusi besar, termasuk bank sentral, untuk menambahkan aset kripto itu sebagai bagian dari kepemilikan mereka. Tetapi jika kapitalisasi pasar Bitcoin meningkat, yang terjadi adalah sebaliknya,” ujarnya.

Grafik yang menunjukkan penawaran dan permintaan Bitcoin vs. Tesla

McGlone juga menyoroti pentingnya produk Bitcoin dalam bentuk efek, yakni saham, seperti Grayscale Bitcoin Trust (GBTC) dan Bitcoin Exchange Traded Fund (ETF), termasuk di pasar berjangka. Menurutnya, GBTC sangat baik menumbuhkan adopsi dan apresiasi terhadap Bitcoin.

Segini Investasi Rothschild di Saham Bitcoin, GBTC

Pada basis 52 minggu, Bitcoin adalah yang paling berkorelasi dengan emas dalam sejak tahun 2010. Ketika kontrak berjangka diluncurkan pada 2017, korelasi Bitcoin terhadap emas mendekati nol dibandingkan saat ini, sekitar 0,44 poin,” sebutnya.

Dia mencatat, bahwa bursa berjangka Bitcoin adalah jalan awal utama bagi Bitcoin masuk menjadi aset investasi arus utama.

“Munculnya ETF misalnya, adalah hanya masalah waktu, agar Bitcoin lebih mudah diakses di pasar tradisional, seperti ETF emas yang dimulai pada tahun 2004,” pungkasnya.

Laporan lengkap Bloomberg Intelligence bisa diunduh di sini.

Pengakuan SEC AS
Bahkan Jay Clayton, Ketua SEC Amerika Serikat tidak ketinggalan memberikan komentar soal apresiasi tinggi itu.

Jay Clayton, Ketua Security and Exchange Commission (SEC) Amerika Serikat (AS) menegaskan, bahwa penyebab harga Bitcoin dan aset kripto diapresiasi sangat tinggi adalah karena ketidakefisien sistem pembayaran internasional dan domestik saat ini.

Hal itu disampaikan Clayton kepada CNBC, ketika harga Bitcoin sudah menyentuh harga tertinggi baru tahun ini, yakni lebih dari US$18.000 dan sekaligus harga tertinggi baru sejak tahun 2017 silam. Clayton sendiri akan berhenti dari jabatannya pada akhir tahun ini.

Ketua SEC AS: ETH Bukan Sekuritas

“Apa yang kami lihat adalah, sistem pembayaran kita saat ini, dalam negeri ataupun internasional tidak efisien. Itulah yang mendorong popularitas Bitcoin dan sejumlah aset digital lainnya. Ke depan saya pikir pasar akan semakin ‘mature‘ dan SEC akan terus mengawasi dan mengaturnya,” katanya kepada CNBC, Kamis (19/11/2020),

Ia pun menegaskan, bahwa Bitcoin bukanlah bentuk dari sekuritas, tetapi entitas dalam mekanisme pembayaran dan penyimpan nilai (store-of-value).

Inflasi, Inflasi dan Inflasi
Soal inflasi itu ditegaskan kembali oleh Nic Carter, tokoh pendukung Bitcoin dari Castle Island Ventures menegaskan, bahwa kenaikan harga Bitcoin hingga US$18.000 per BTC karena potensi inflasi yang terjadi di masa depan.

“Ya, memang banyak orang saat ini fokus pada dampak inflasi yang mungkin terjadi 10 tahun ke depan, akibat bertambahnya pasokan uang dolar AS. Bitcoin pun dipandang sebagai aset untuk melindungi nilai uang dari inflasi itu,” jelas Carter dalam wawancara di Bloomberg, Kamis (19/11/2020).

Bagi Carter, inflasi memang berdampak pada kenaikan nilai aset kripto, termasuk Bitcoin, sebagaimana wacana umum yang mengemuka di komunitas aset kripto itu sendiri, karena Bitcoin yang jumlahnya kian langka, dianggap sebagai alat untuk melindungi nilai uang akibat inflasi.

Dia tak menampik kenyataan, semakin banyak jumlah investor yang sadar dan peduli terhadap Bitcoin dan berinvestasi terhadapnya, walaupun sebenarnya inflasi besar di masa depan belumlah pasti.

JP Morgan: Investor Institusi Mungkin Kian Doyan Bitcoin

“Keadaan ekonomi makro yang penuh ketidakpastian dan ketakutan akan munculnya suku bunga negatif dan inflasi adalah pendorong utama kenaikan harga Bitcoin. Faktor eksternal itu, yang jauh lebih menarik dan terkadang terlalu diremehkan,” katanya.

“Kali terakhir kita melihat bull run seperti ini adalah pada tahun 2017. Ketika itu sangat sulit bagi investor institusi untuk mengukur nilai asli aset kripto itu, termasuk mengakses sejumlah alat yang tepat untuk mengambil keputusan berinvestasi. Pun dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Kalau pun ada, kurang bisa dipercaya. Satu-satunya yang besar dan mendukung investor besar masuk ke Bitcoin adalah CME, tetapi mereka muncul di ujung, ketika Bitcoin sudah terlebih dahulu terjun dari kisaran US$19-20 ribuan per BTC. Hari ini, produk investasi Bitcoin oleh CME itu justru sangat likuid,” kata Carter.

Ucap Cater lagi, dan selama 3 tahun terakhir inilah banyak perusahaan besar menyediakan banyak tools dan beragam layanan agar investor besar bisa lebih banyak mengalirkan modalnya ke Bitcoin.

“Layanan itu mempermudah mereka,” kata Carter.

Ada Jeff Bezos di Bitcoin
Jeff Bezos, orang terkaya di dunia yang juga CEO Amazon tak mau tertinggal masuk di hiruk pikuk Bitcoin ini.

Didukung investasi oleh CEO Amazon, Jeff Bezos, perusahaan Chipper Cash akhirnya memutuskan membuka layanan jual-beli aset kripto termasuk Bitcoin di aplikasinya untuk kawasan Afrika.

Selain aset kripto, aplikasi Chipper Cash bisa digunakan untuk perdagangan saham, seperti Tesla, Apple, dan Amazon.

Langkah terbaru itu setelah perusahaan mendapatkan dana investasi jumbo sebesar US$30 juta dalam putaran pendanaan Seri B.

Investasi itu dipimpin oleh firma modal ventura Ribbit Capital, dengan partisipasi Bezos Expeditions, perusahana ventura milik Jeff Bezos.

Didirikan pada tahun 2018 oleh Ugandan Ham Serunjogi dan Ghanaian Maijid Moujaled, Chipper Cash yang berbasis di San Francisco menawarkan layanan pembayaran peer-to-peer (P2P) melalui smartphone, tanpa biaya.

Layanan tersebut tersedia di tujuh negara Afrika, yakni Ghana, Uganda, Nigeria, Tanzania, Rwanda, Afrika Selatan, dan Kenya.

PayPal Gerbang Besar Bitcoin
Penopang besar kekuatan Bitcoin lainnya adalah PayPal yang membuka layanan jual-beli Bitcoin dan beberapa aset kripto popular lainnya.

Pada Rabu (21 Oktober 2020), PayPal mengumumkan akan meluncurkan layanan jual-beli Bitcoin dan sejumlah aset kripto popular lainnya. Kabar itu menepis kabar burung pada beberapa bulan sebelumnya. Harga Bitcoin pun langsung terbang menembus US$12.700, melampaui resisten 17 Agustus 2020 di US$12.300 per BTC.

PayPal menyebutkan, warga AS bisa menggunakan layanan itu dalam beberapa pekan ke depan. Sedangkan ratusan pengguna di negara lain harap menanti hingga medio tahun 2021.

Ini Bukti PayPal Kian Akrab dengan Bitcoin Cs di Eropa

“Pergeseran ke bentuk mata uang digital tidak bisa dihindari, karena itu membawa manfaat untuk inklusi dan akses keuangan, efisiensi, kecepatan dan keunggulan sistem pembayaran. Selain itu ia memungkinkan pemerintah untuk menyalurkan dana kepada warga dengan cepat,” kata Dan Schulman, Presiden dan CEO, PayPal dalam keterangannya.

Tambah Schulman, layanan baru itu langsung terpadu di akun PayPal masing-masing pengguna. Mulai tahun depan pengguna PayPal juga bisa memakai aset kripto di akunnya untuk berbelanja di 26 juta merchant secara langsung.

Namun dalam settlement, merchant tidak menerima hasil pembayaran dalam bentuk aset kripto, melainkan dalam bentuk uang fiat seperti dolar AS.

Ancaman Komputasi Kuantum
Bitcoin yang lebih diapresiasi daripada emas dan melemahnya dolar AS akibat pandemi COVID-19 adalah penanda sejarah baru keuangan sepanjang peradaban manusia. Kemunculan kelas aset baru itu pula adalah pembuktian tegas bahwa digitalisasi berada di babak terbarunya.

Namun Bitcoin dan aset kripto lainnya yang bertenaga blockchain, bukannya tak mendapatkan ancaman nyata di masa depan. Setidaknya, salah satunya adalah ancaman oleh komputasi kuantum.

World Economic Forum (WEF) dalam laporan teranyarnya, November 2020, menyoroti ancaman besar perkembangan komputasi kuantum di masa depan terhadap sistem kriptografi asimetris, yang notabene digunakan oleh dompet Bitcoin.

“Komputasi kuantum mengancam kriptografi asimetris yang banyak digunakan saat ini. Padahal perusahaan dan ekonomi digital sangat bergantung pada sistem kriptografi itu,” sebut WEF dalam laporannya.

Menurut WEF, sejumlah penelitian saat ini belum bisa merancang penangkal ampuh jikalau komputasi kuantum semakin canggih.

“Jika komputasi kuantum kelak mampu menebas sistem kriptografi asimetris, sebelum ekosistem digital telah mencapai transisi yang diperlukan menangkalnya, maka itu akan menciptakan risiko keamanan siber yang besar,” sebut WEF.

Betapa seriusnya masalah itu, WEF sangat menyarankan beberapa negara-negara besar untuk bekerjasama merancang dan menciptakan sistem ampuh guna menangkal keunggulan komputasi kuantum itu.

Wacana ancaman komputasi dan perangkat komputer kuantum di ranah Bitcoin sebenarnya bukanlah hal baru. Tetapi yang cukup menonjol dan sempat menjadi buah bibir adalah pada September 2019 lalu.

Google kala itu mengklaim telah membuat komputer kuantum yang mampu memecahkan perhitungan matematika yang sebelumnya mustahil. Pengumuman itu mengakibatkan sejumlah pihak merasa Bitcoin bisa menjadi sasaran. Google menyebutnya sebagai “Quantum Supremacy”, karena menjadi kekuatan komputasi kuantum yang tertinggi saat ini.

Rincian “supremasi kuantum Google”, yang berarti solusi mereka mampu melakukan perhitungan yang tidak bisa dilakukan komputer biasa, diunggah ke situs NASA sebelum kemudian dicabut.

Komputer kuantum Google itu disebutkan mampu melakukan komputasi 10 ribu tahun hanya dalam 200 detik saja, sehingga berpotensi memecahkan enkripsi yang menjadi landasan keamanan jaringan Bitcoin.

Bitcoin, kriptografi dan enkripsi mengandalkan persoalan matematika rumit dan fundamentalnya menjadi dasar bagi Internet serta kepercayaan komunikasi digital. Komputer yang cukup kuat bisa memecahkan persoalan tersebut dengan cepat untuk meretas bukan hanya Bitcoin tetapi juga enkripsi yang menjadi landasan Internet.

Membludaknya investor Bitcoin dan harga Bitcoin beberapa tahun terakhir membuat banyak pihak khawatir kekayaan kripto mereka terancam oleh komputer kuantum. Kendati demikian, ada langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk mencegah Google atau komputer kuantum lain memecahkan Bitcoin dan komunikasi digital.

Charles Hayter, ketua eksekutif situs data kripto CryptoCompare, kala itu menjelaskan, “Kripto bisa diperbarui dengan teknologi anti kuantum. Hal ini hanya merupakan kelanjutan perseteruan lama antara peretas dan pengenkripsi.”

Menurut sejumlah ahli, Google masih jauh dari berhasil membangun komputer kuantum yang bisa mengancam Bitcoin atau enkripsi lain. Dragos Ilie, periset komputasi kuantum, berkata komputer Google hanya memiliki 53 qubit.

Qubit atau quantum bits adalah unit hitung dasar informasi kuantum yang menggunakan sifat-sifat sistem kuantum, seperti polarisasi foton atau putaran elektron, sedangkan komputer biasa menyimpan dan memroses serangkaian data berbentuk angka 1 dan 0.

“Agar berdampak kepada Bitcoin atau sistem keuangan lain, dibutuhkan setidaknya 1.500 qubits dan sistem itu harus mampu menyatukan semuanya,” jelas Ilie.

Google bahkan tidak semaju yang dikira banyak orang, dengan adanya laporan susulan yang menyebut pengumuman supremasi kuantum itu dicabut sebab belum dikonfirmasi. Di sisi lain, membuat komputer kuantum yang besar adalah tantang sulit menurut Ilie. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait