Blok Perdana Sudah Tiba, Vexanium Segera “Merdeka”

Vexanium, perusahaan rintisan yang berbasis di Indonesia, memulai babak barunya. Per 26 Juni 2019, blockchain Vexanium sudah memulai Genesis Block (Blok Perdana). Secara bertahap, 1 Juli 2019 hingga 31 Juli 2019, Vexanium mengalihkan teknologi blockchain-nya dari Achain. Setelah rampung, kelak kripto VEX berjalan independen sepenuhnya di blockchain Vexanium sendiri, yang mengusung algoritma konsensus dPoS (Delegated Proof of Stakes).

Wacana Vexanium membuat blockchain sendiri sudah bergulir sejak Oktober 2018 silam dan dilanjutkan dengan peluncuran jaringan ujicoba blockchain (testnet) menjelang akhir Mei 2019 lalu.

Pada 2018 lalu, CEO Vexanium Danny Baskara mengatakan, independensi adalah hal yang lumrah di industri blockchain. Dengan membuat jaringan blockchain sendiri, kata Danny, Vexanium akan lebih leluasa menerapkan segala konsep yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar saat ini dan di masa depan. Ini serupa dengan langkah Binance Coin (BNB) yang “merdeka” dari blockchain Ethereum ke blockchain buatan mereka sendiri, Binance Chain. Sebelumnya, Juni 2018 Tron juga hijrah dari Ethereum.

“Secara konkret, dengan main net Vexanium memungkinkan entitas bisnis lainnya membuat token di jaringan Vexanium. Dengan kata lain, Vexanium kelak memiliki lokomotif sendiri untuk melebarkan sayapnya. Isu kecepatan transaksi juga tak lagi masalah, bisa mencapai 2.000 transaksi per detik (TPD).

Danny menegaskan, dengan Vexanium membuat blockchain sendiri ini akan menjadi role model (contoh) bagi perusahaan-perusahan lain yang ingin berkecimpung di industri blockchain.

Merdeka 11 Juli 2019
“Kita perlu satu impian dan harapan. Saya sebagai pendiri dan CEO Vexanium berharap, dengan public blockchain Vexanium ini mampu membawa mimpi-mimpi anak bangsa sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Mungkin bisnis e-commerce kita tertinggal 10 tahun dari Tiongkok, Jepang dan lain-lain. Namun, soal adopsi blockchain, Indonesia hanya tertinggal satu tahun saja dengan negara lain. Hanya saja kita perlu percepatan dan keinginan yang lebih sungguh-sungguh. Ini saatnya bagi anak-anak bangsa kita berkarya dan sejajar dengan bangsa lain seperti apa yang sudah terjadi di e-commerce sebelumnya,” kata Danny Baskara hari ini, Kamis, 27 Juni 2019 kepada Blockchainmedia melalui Telegram.

Dalam satu ekosistem terpadu akan dihadirkan sejumlah aspek, seperti VEXPlorer (VEX Browser), VEX Wallet, VEX DApps, Decentralized Finance (DeFi) dan Premium Name Bidding.

“Decentralized Finance (DeFi) adalah teknologi keuangan yang dibangun di atas blockchain Vexanium. Teknologi ini merupakan protokol open source, di mana pengguna bisa membuat dan mengeluarkan aset digital (token) sendiri. Pengguna dapat membuat protokol pinjaman, investasi, memprediksi situasi market, bursa kripto bahkan stablecoin. DeFi akan diluncurkan pada 15 Juli 2019 dan peluncuran perdana blockchain Vexanium akan digelar pada 11 Juli 2019 mendatang,” ujar Danny.

Kabar muram di balik dPoS
Algoritma konsensus dPoS (Delegated Proof of Stakes) adalah konsensus terlazim saat ini, khususnya bagi pendatang baru di teknologi blockchain. Pasalnya, selain lebih hemat energi daripada PoW (Proof-of-Work), yang digunakan oleh blockchain Bitcoin, proses produksi blok transaksi pun lebih cepat ratusan kali lipat.

EOS yang menerapkan dPoS misalnya sangat popular, karena jumlah dApp (decentralized app) di atasnya sangat banyak, bersaing ketat dengan blockchain Tron dan Ethereum (masih PoW dan berproses menggunakan PoS (Proof of Stake).

dPoS (diciptakan oleh Dan Larimer) yang merupakan generasi lanjutan dari PoS (Proof of Stake) praktis lebih efisien lagi, karena mendelegasikan konsensus pada sejumlah kecil pihak yang menjalankan node (simpul) jaringan blockchain melalui mekanisme voting. Node adalah satu komputer atau sejumlah komputer yang menjalankan peran verifikasi dan validasi transaksi di blockchain. Dalam ranah dPoS, node ini lazim disebut sebagai Block Producer (BP).

Pada 26 Februari 2019 lalu, di sejumlah media blockchain tersiar kabar soal raibnya 2,09 juta EOS (sekitar US$7,7 juta) dari satu akun blockchain EOS. Dilakukan melalui “peretasan”, penyebab utamanya adalah kelalaian seorang Block Producer (BP) yang tidak memperbarui isi daftar hitam (blacklist) akun-akun terlarang di EOS. Dari kabar terbaru terungkap, ternyata ini sekaligus mempertontonkan sejumlah kelemahan sistem EOS, yang menganut dPOS (Delegated Proof of Stake) itu.

“Pada ekosistem EOS ada yang disebut sebagai ECAF (EOS Community Arbitration Forum). Tak seperti BP, pada ECAF tidak ada mekanisme voting, tetapi sekadar ditentukan dalam EOS Constitution. Ini semacam undang-undang dasar yang disepakati oleh sejumlah pihak yang ingin terlibat pada ECAF,” kata Luke Stokes, salah seorang anggota komunitas eosDAC yang tinggal di Puerto Rico. eosDAC sendiri berperan sebagai BP.

Kata Stokes, ECAF difungsikan untuk mengatasi perselisihan dalam komunitas. Misalnya, ketika seseorang menyatakan ada orang dari akun lain yang mencuri kriptonya, maka ECAF mengkaji dan menguji apakah tuduhan ini benar. Jikalau benar, maka ECAF akan menambahkan akun tersebut ke dalam daftar hitam EOS dan ini diberitahukan kepada seluruh BP.

Nah, untuk memastikan daftar hitam itu diterapkan, sebanyak 21 BP teratas harus mengkonfigurasikannya secara benar pada node (simpul) komputer yang mereka kelola. Inilah yang memungkinkan, ketika pihak-pihak yang ada di daftar hitam ingin melakukan transaksi, maka transaksinya seketika dibekukan. Hal lainnya, kripto pada transaksi tersebut juga tak dapat diretas oleh pihak-pihak lainnya.

Masalahnya, semakin banyak perintah daftar hitam yang dikeluarkan oleh ECAF, maka semakin banyak pula BP yang kebingungan, hingga ragu soal derajat keamanan EOS sendiri.

Menurut Stokes, komunitas EOS saat ini mulai menawarkan mekanisme keamanan lain untuk melindungi token-token di bawah EOS, misalnya dengan multi-signature dan time-delayed permissions.

“Di atas itu semua, peran dari ke-21 BP teratas itu seolah-olah jumawa melakukan sensor,” kata Stokes.

Jadi, pencurian 2,9 juta EOS itu gara-gara daftar hitam yang dikeluarkan oleh ECAF itu. Pada awalnya mekanisme seperti ini dirasa baik untuk melindungi aset komunitas. Tetapi, pada kenyataannya ke-21 BP teratas itu sendiri justru gagal menentukan secara tepat daftar hitam yang diterbitkan.

“Ada BP terbaru yang masuk dalam kategori 21 BP teratas, yakni games.eos yang gagal mengkonfigurasi daftar hitam. Lalu 2,09 juta EOS itu terkirim dari akun terlarang yang masuk dalam daftar hitam. Masalahnya, EOS itu dikirimkan ke sejumlah address yang berbeda-beda secara cepat. Saking cepatnya, BP justru tak sanggup menanganinya,” kata Kevin Rose, Pemimpin komunitas EOS, sekaligus BP yang tinggal di New York.

Menurut Rose, peristiwa itu bukanlah semata-mata aktivitas peretasan. Lagipula itu sudah berlangsung lebih dari satu minggu. Sistem daftar hitam, bagi Rose, hanya bersifat sementara untuk mengatasi keamanan dalam EOS.

“Untuk mencegah itu terjadi kembali, selain akan menggunakan multi-signature dan time-delayed permissions, ada mekanisme khusus, di mana akun yang masuk daftar hitam tidak akan bisa beroperasi lagi selamanya. Hingga saat ini usulan terakhir itu baru diterima oleh dua BP dari ke-21 BP teratas itu. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait