Dea Rezkitha: Bitcoin Bukan Musuh Rupiah!

Dea Rezkitha menegaskan, pemerintah jangan lagi menilai Bitcoin sebagai musuh rupiah, tetapi sebagai pelengkap sistem keuangan nasional.

Ia menilai Bitcoin jangan dipandang hanya dari sudut harga saja, tetapi semua orang harus mempelajari dari akar kemunculannya, sembari menegaskan bahwa dalam konteks Indonesia, Bitcoin bukanlah musuh rupiah.

Di tengah gegap gempita investasi aset kripto, nama Dea Rezkitha muncul sebagai sosok yang menawarkan pendekatan berbeda. Ia bukan sekadar pengguna atau spekulan yang mengejar untung, melainkan pendidik dan penggerak komunitas yang menyelami Bitcoin jauh melampaui fluktuasi harganya. Lewat ruang belajar yang ia dirikan, Dea menjadikan Bitcoin sebagai jendela untuk memahami sistem keuangan global dari perspektif yang lebih mendasar.

Perkenalan Dea dengan Bitcoin bukan hasil dari demam sesaat. Ia menemukan istilah internet money itu secara tak sengaja di sebuah kafe di Laos pada 2013. Kala itu, ia terkejut ketika pelayan di tempat itu menyebutkan bahwa mereka menerima pembayaran dalam bentuk Bitcoin.

“Waktu itu saya belum tahu apa-apa, tapi rasa ingin tahu saya muncul sejak saat itu,” tutur Dea kepada kontributor Blockchainmedia.id, Mila Audia Putri, pada pekan lalu.

Rasa penasaran itu mengendap hingga akhirnya bangkit kembali pada 2016. Saat itu, Dea tengah mengelola sebuah usaha pariwisata di Bali dan menghadapi tantangan klasik: transaksi lintas negara yang lamban dan mahal. Ia lalu mencari alternatif dan kembali bertemu dengan Bitcoin. Kali ini bukan sebagai konsep abstrak, melainkan solusi praktis. Setelah mengikuti kelas Bitcoin di sebuah coworking space di Bali, ia mulai menggunakannya untuk transaksi bisnis. Hasilnya mencengangkan: transaksi yang biasanya memakan waktu hingga sepuluh hari kini terselesaikan dalam hitungan menit, dengan biaya yang sangat minim.

Momen itu menjadi titik balik. Di mata Dea, Bitcoin tak lagi sekadar alat tukar, tapi juga teknologi keuangan yang efisien dan inklusif. Ketika pandemi melumpuhkan bisnis wisatanya pada 2020–2021, ia memilih untuk tak tinggal diam. Alih-alih berputus asa, Dea pun membuka jalan baru: mengedukasi masyarakat tentang Bitcoin.

Bitcoin: Kenapa Jadi Aset Mahal, Bukan Alat Tukar?

Ia pun mendirikan Kelas Bitcoin, sebuah ruang belajar daring yang hingga kini aktif menyelenggarakan kelas rutin setiap bulan. Bersamaan dengan itu, ia meluncurkan podcastMy Bitcoin Story, yang mewawancarai berbagai tokoh penting, mulai dari Max Keiser, Robert Breedlove, hingga sejumlah CEO crypto exchange Indonesia. Dari percakapan-percakapan itu, tak hanya pengetahuannya yang bertambah, tapi juga terbuka ruang diskusi publik yang selama ini jarang disentuh.

Langkah Dea tak berhenti di ruang digital. Bersama sejumlah kolega, ia turut menggagas Indonesia Bitcoin Community, yang menjadi motor penyelenggaraan Indonesia Bitcoin Conference sejak 2021. Dua edisi awal konferensi ini digelar secara daring, menghadirkan figur-figur global seperti Saifedean Ammous dan Jeff Booth. Pada 2023, konferensi akhirnya digelar secara luring di Bali, dihadiri langsung oleh tokoh seperti Gita Wirjawan, serta Jack Dorsey yang tampil secara daring. Sementara itu pada tahun 2025 akan digelar pada September 2025 di Bali.

Tak hanya aktif di dalam negeri, Dea juga berkiprah di kancah internasional. Ia dipercaya sebagai Community Master untuk kawasan Asia Tenggara di Fedi, sebuah platform yang memanfaatkan teknologi federasi dalam jaringan Bitcoin. Jejaknya sebagai pendiri Kelas Bitcoin dan co-founder Indonesia Bitcoin Community memperkuat perannya dalam membangun ekosistem edukasi dan komunitas Bitcoin di wilayah ini.

Dea Rezkitha sebagai penggagas Indonesia Bitcoin Community
Dea Rezkitha sebagai penggagas Indonesia Bitcoin Community. Foto: Dokumentasi pribadi.

Tak Tergoda Altcoin

Latar belakang pendidikan Dea di bidang hubungan internasional menjadi landasan kuat dalam melihat Bitcoin sebagai respons terhadap problematika global. Baginya, sistem moneter yang kita kenal hari ini, berakar dari kesepakatan Bretton Woods dan dominasi dolar AS, menyimpan banyak ketimpangan.

“Bitcoin menawarkan alternatif yang lebih terbuka, netral, dan tidak dikendalikan oleh satu negara atau institusi,” jelasnya.

Karena keyakinan itu, Dea memilih fokus hanya pada Bitcoin. Ia tak tergoda untuk berinvestasi di aset kripto lain, yang menurutnya sebagian besar tidak memiliki fondasi kuat dan justru menyimpan risiko tinggi.

“Banyak di antaranya adalah unregistered securities. Bahkan stablecoin pun rentan. Bitcoin adalah satu-satunya yang paling transparan, paling terdesentralisasi, dan tidak punya pre-mined,” tuturnya.

Sikap kritis Dea terhadap ekosistem kripto juga tercermin dalam pandangannya terhadap fenomena di Indonesia. Ia menyoroti rendahnya literasi digital, terutama di kalangan investor pemula yang sering tidak membedakan antara menabung, berinvestasi, dan berjudi.

Dr. Saifedean Ammous: Bitcoin (BTC) Unggul sebagai Mata Uang

“Banyak yang masuk karena tren. Padahal, risiko penipuan, phishing, hingga keamanan dompet digital masih sangat tinggi,” katanya.

Bitcoin Bukan Musuh Rupiah

Melalui Kelas Bitcoin, Dea bersama timnya tak henti melakukan edukasi. Kanal Instagram dan situs Kelasbitcoin.com menjadi pintu masuk bagi siapa saja yang ingin mengenal Bitcoin dari dasar. Ia percaya bahwa pemahaman yang menyeluruh hanya bisa dibangun lewat proses belajar yang konsisten.

Saat menjadi pembicara di Bitcoin Conference 2024 di Nashville, Amerika Serikat, Dea kembali menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam adopsi Bitcoin. Menurutnya, langkah lembaga-lembaga seperti Bappebti dan OJK yang mulai membuka ruang diskusi adalah sinyal positif. Namun, ia berharap pemerintah tidak melihat Bitcoin sebagai ancaman, melainkan sebagai pelengkap bagi sistem keuangan nasional.

“Kalau negara seperti Bhutan dan El Salvador saja sudah mulai memasukkan Bitcoin ke dalam cadangan strategis nasional, kenapa kita tidak belajar dari mereka? Pemerintah semestinya makin melek terhadap teknologi ini, bukan justru menakut-nakuti. Karena pada akhirnya, Bitcoin bukan musuh rupiah, tapi bisa jadi alternatif sehat untuk masyarakat,” ucapnya.

Usulan Bitcoin Jadi Cadangan Negara, OJK Respons Hati-Hati

Di tengah arus deras spekulasi dan kegamangan terhadap teknologi baru, sosok seperti Dea Rezkitha mengingatkan bahwa memahami Bitcoin butuh lebih dari sekadar membaca grafik harga. Ia menunjukkan bahwa di balik volatilitas pasar, tersimpan fondasi ideologis dan teknologis yang layak dipelajari lebih dalam. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait