Resesi Hebat Diprediksi Terjadi Tahun Depan, Mengapa?

Resesi hebat yang menghantam dunia diprediksi akan terjadi pada 2023 nanti. Jika melihat situasi saat ini, prediksi tersebut tidak bisa dibilang berlebihan. Mulai dari masa pandemi yang belum sepenuhnya berakhir, konflik antara Rusia-Ukraina, hingga naiknya harga komoditas, situasi menjadi sulit untuk diprediksi belakangan ini. Akankah prediksi ini benar-benar terjadi? Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Simak ulasannya berikut ini!

Imbas Kenaikan Suku Bunga?

Pada 2022 ini, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, mencatatkan rekor baru. Guna memperkuat ekonomi dalam melawan kenaikan harga yang begitu cepat, bank sentral AS mengumumkan kenaikan suku bunga (Fed Rate). Bahkan, kenaikan tersebut adalah yang tertinggi dalam lebih dari dua dekade.

Pada Juli 2022 nanti, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya hingga setengah basis poin (bps), dari yang semula pada kisaran 0,25 persen menjadi 0,75-1 persen. Sebelumnya, bank sentral sudah menerapkan kenaikan pada bulan Maret lalu.

Hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Bank sentral India pun mengumumkan kenaikan suku bunga acuannya. Begitu pula dengan Australia yang menerapkan kenaikan suku bunga pertamanya dalam lebih dari satu dekade. Bank Sentral Inggris pun telah menaikkan suku bunganya. Ini menjadi kenaikan suku bunga keempat Inggris sejak Desember 2021.

Pertumbuhan Ekonomi yang Lambat

Alasan lain yang dipercaya memicu terjadinya resesi hebat tahun depan adalah pertumbuhan ekonomi yang lambat. Pemulihan ekonomi pasca-pandemi ternyata belum bisa optimal sesuai harapan. Faktor penyebabnya sangat beragam, mulai dari pandemi yang belum benar-benar usai hingga konflik yang terjadi di beberapa negara.

Menurut laporan dari World Bank, tingkat pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022 ini akan melambat. Dari angka 5,7 persen di tahun 2021 lalu, turun menjadi 2,9 persen tahun ini. Pandemi memang benar-benar memberikan dampak yang begitu besar pada perekonomian dunia. Rantai pasokan internasional menjadi kacau. Akibatnya, pertumbuhan pendapatan pun terhambat secara signifikan.

Masih dari laporan yang sama, World Bank juga memprediksi bahwa pertumbuhan global untuk tahun-tahun ke depan akan melambat, terutama jika melihat situasi konflik Rusia-Ukraina yang tak kunjung mereda. Konflik tersebut sedikit-banyak telah memengaruhi lonjakan harga makanan serta bahan bakar, mengakibatkan terganggunya jaringan perdagangan internasional.

Kembalinya Stagflasi

Stagflasi merupakan situasi ketika pertumbuhan ekonomi melambat secara signifikan, namun inflasi dan harga tinggi masih tetap ada. Dunia mengalami periode stagflasi ini terakhir kali pada tahun 1970-an. Kala itu, harga minyak meroket naik sehingga inflasi tinggi pun terjadi di seluruh dunia. Resesi terjadi di sejumlah negara yang mengimpor minyak dalam jumlah besar dari Timur Tengah.

Saat ini, perekonomian global tengah memperlihatkan pola yang serupa. Agar tidak berlanjut ke stagflasi, Presiden World Bank, David Malpass, menyarankan untuk tetap melanjutkan operasi rantai pasokan normal dan meningkatkan produksi di seluruh dunia. Sayangnya, hal ini pun tidak akan mudah. Beberapa pusat produksi terpaksa mengalami lock down selama pandemi melanda. Ada juga yang berhenti berproduksi akibat perang.

Lalu, Bagaimana dengan Indonesia?

Memasuki tahun 2022, fundamental ekonomi Indonesia justru membaik. Salah satunya bisa dilihat dari performa industri manufaktur. Pada bulan April kemarin, sektor manufaktur berhasil naik ke level 51,9 persen dari semula 51,3 persen. Tidak besar memang, namun pertumbuhan ini relatif stabil.

Secara umum, pertumbuhan ekonomi tanah air juga tergolong baik. Dilansir dari portal berita Merdeka, pada kuartal pertama (KI) 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia ada pada level 5,01 persen. Sedangkan inflasi ada pada level 3,47 persen, tergolong rendah jika dibandingkan dengan periode waktu yang sama tahun lalu.

Kinerja pasar modal Indonesia pun cukup baik. Pada Mei 2022, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) berhasil menguat ke 7.728. Hanya saja, rupiah mengalami pelemahan hingga 0,83 persen sepanjang Mei 2022 lalu. Kondisi ini merupakan imbas dari kebijakan moneter yang baru diterapkan oleh bank sentral AS untuk memperkuat dolar AS.

Ada banyak faktor yang menyebabkan resesi hebat diprediksi akan terjadi pada tahun 2023 nanti. Beberapa di antaranya adalah pandemi yang belum benar-benar berakhir dan terjadinya konflik antara Rusia-Ukraina. Keduanya telah memengaruhi rantai pasokan serta jaringan perdagangan internasional. Akibatnya, harga komoditas pun menukik tajam.

Di tengah ketidakpastian ini, investasi bisa menjadi langkah persiapan yang layak dicoba. Terlebih, kini ada banyak sekali opsi investasi yang dapat Anda pilih. Mulai dari metode konvensional minim risiko seperti deposito, hingga metode baru aset kripto yang terhitung berisiko tinggi. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait