Rusia Bisa Pakai Bitcoin Guna Atasi Sanksi Baru AS

Rusia, kalau mereka niat, bisa saja memakai blockchain Bitcoin untuk urusan transfer uang antar negara guna mengatasi sanksi baru oleh AS. Tapi, masih punya sejumlah keterbatasan, menanti terobosan lain yang sedang dikembangkan.


OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id


Sebelum operasi militer diluncurkan pada Kamis dini hari, (24/2/2022) lalu) atas perintah Vladimir Putin. Pada Senin, 21 Februari 2022, Rusia mengakui kemerdekaan dua kelompok pemberontak di wilayah Ukraina timur.

Biden pun langsung merespons tindakan itu dengan menjatuhkan sejumlah sanksi, di antaranya adalah menutup akses kepada Rusia terhadap layanan perbankan internasional. Sanksi diberlakukan pada Selasa lalu.

Itu artinya Rusia tidak bisa menggunakan layanan seperti SWIFT untuk melakukan perdagangan internasional. Sudahlah rahasia umum, sistem struktural SWIFT dikuasai oleh AS untuk menekan negara-negara yang dianggap musuh.

Para ekonom memperkirakan bahwa sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara Barat merugikan Rusia US$50 miliar per tahun. Bahkan, hari ini Jepang juga ikut-ikutan menambah sanksi itu.

Terhadap kripto, khususnya Bitcoin, AS dan Rusia memang sama-sama pendukung. Hanya saja, negara-negara yang sedang dihadang sistem pembayaran internasional, bisa menggunakan blockchain Bitcoin sebagai alternatif.

Cara ini sebelumnya pernah digunakan antara Venezuela dan Iran untuk perdagangan minyak. Kedua negara itu memang kena sanksi serupa oleh AS. Terapan nyata lainnya adalah di El Salvador untuk urusan remitansi dari AS ke El Salvador lewat dompet Chivo.

Di negeri Amerika Tengah itu, sistem blockchain Bitcoin memang tidak digunakan secara langsung, melainkan berbantuankan teknologi Lightning Network. Dampaknya adalah biaya transaksi hampir setara menjadi nol rupiah dan kecepatan menjadi hampir instan. Bandingkan dengan menggunakan blockchain Bitcoin secara langsung, yakni tercepat sekitar 10 menit.

Vladimir Putin beberapa bulan lalu memang mengakui keunggulan kripto yang berpotensi sebagai alat pembayaran internasional, namun tetap berkesimpulan dolar AS masih punya kekuatan untuk urusan perdagangan minyak, selain ada upaya dedolarisasi oleh Tiongkok, Rusia sendiri dan negara lain.

Bahkan setelah pernyataan itu, jauh sebelum operasi militer ke Ukraina, Bank Sentral dan Kementerian Keuangan Rusia sedang berkoordinasi untuk menggodok undang-undang khusus yang kelak akan mengakui kripto sebagai alat pembayaran domestik.

Belum lagi soal pengayaan rubel digital, yang memungkinkan transfer uang antar negara tidak menggunakan layanan bank biasa, melainkan jaringan tersendiri seperti yang dibuat oleh Tiongkok.

Stacy Herbert, rekan pemandu acara Max Keizer di Russian Today (perusahaan media milik Pemerintah Rusia) memandang, bahwa bahwa Bitcoin bisa menjadi salah satu masalah terpenting dalam kebuntuan Rusia vs NATO-AS.

“Sanksi itu pasti akan diatasi dengan Bitcoin,” katanya dilansir dari Zycrypto.com.

Belum lagi mengingat Rusia adalah negara penambang Bitcoin terbesar ketiga di dunia, berdasarkan catatan terbaru Bloomberg. Media ternama AS itu menyebutkan, Rusia “memiliki” mata uang kripto senilai lebih dari US$214 miliar, sekitar 12 persen dari total nilai aset kripto global.

Teknologi Lightning Network itu pula masih menjanjikan sebagai alternatif sistem SWIFT, berkat perkembangan di masa depan lewat protokol Synonym oleh perusahaan Tether. Menggunakan protokol itu sangat memungkinkan diterbitkannya token bernilai dolar AS ataupun mata uang lain, seperti USDT. Tujuannya serupa, yakni biaya transaksi menjadi hampir nol rupiah, dengan kecepatan hampir instan.

Ketika Stablecoin Ditenagai Lightning Network, Dipadukan dengan Bitcoin

Kesimpulannya, agar ekosistem Bitcoin bisa menjadi alternatif SWIFT oleh Pak Putin, maka perlu perkembangan teknologi yang lebih mumpuni lagi. Menanti itu, Putin bisa saja menggunakan blockchain lain yang lebih unggul. [vs]

Terkini

Warta Korporat

Terkait