Pada tahun 2017, dunia dilanda demam Bitcoin. Harganya naik mendekati 300 jutaan rupiah. Perhatian masyarakat pun terbetot. Perasaan campur aduk sambil bertanya ke kanan dan kiri. Perasaan itu tak bertahan lama. Belum sempat mendapatkan jawaban pasti, perasaan dapat cuan berubah menjadi perasaan kedongkolan, rasa dungu bercampur kesialan dan duka, ketika harga Bitcoin secara cepat merosot pada 17 Desember. Whale pun tertawa riang, yang nyangkut, masih mimpi “when lambo?” Dalam satu kiasan itu adalah elegi yang tak terelakkan.

Hari ini satu dekade silam, pada Jumat, 31 Oktober, pukul 18:10:10 UTC, Satoshi Nakamoto mengirimkan pesan di mailing list kriptografi, Metzdown.com. “I’ve been working on a new electronic cash system that’s fully peer-to-peer, with no trusted third party. The paper is available at: http://www.bitcoin.org/bitcoin.pdf,” tulis Nakamoto di awal pesannya.

Hingga detik ini sosok di balik nama itu masih misteri. Entah dia adalah mewakili satu orang, kelompok, perusahaan, organisasi tertentu bahkan negara. Dia bukanlah Dorian Prentice Satoshi Nakamoto, sebagaimana yang diberitakan oleh Newsweek, 6 Maret 2014 silam. Dia bukan pula Craig Steven Wright, yang mengakui dirinya Satoshi Nakamoto, di BBC pada Mei 2016. Dugaan kuat juga beralih kepada David Chaum, Wei Dai dan Nick Szabo. Ketiga orang ini termasuk pakar di bidang yang serupa dengan Finney, yang rekam jejaknya memang pernah mengetengahkan bahkan menerapkan uang elektronik. Mereka juga menolak disebut Satoshi Nakamoto.

Tidak mudah menggambarkan perkembangan Bitcoin dan blockchain selama rentang 10 tahun ini. Kalau hendak memampatkan sejumlah informasi dan fenomena di antaranya, kita bisa persingkat dengan soal tingkat adopsi blockchain itu sendiri.

Walaupun definisi blockchain itu sendiri masih ambigu, terlebih-lebih istilah “blockchain” memang tidak ditemukan pada paper Bitcoin yang ditulis oleh Satoshi, nyatanya selama 10 tahun ini, blockchain baru dalam tahap eksperimen, penuh hype dan hura-hura cuan, sesuatu yang sangat lumrah dalam adopsi teknologi yang lebih luas. Namun, karena menyangkut urusan dana publik melalui beragam ICO, problemnya agak berbeda.

Di banyak perusahaan besar, seperti perbankan, asuransi, logistik dan pelayaran, blockchain masih dalam tahap uji coba bahkan baru direncanakan atau sekadar dikonsepkan. Jikalaupun ada, masih dalam lingkup sangat kecil, belum berdampak ke masyarakat luas.

Bahkan Wakil Gubernur Bank of Canada (BoC), Carolyn Wilkins belum lama ini terang-terangan berkata teknologi blockchain Hyperledger besutan IBM dan Linux Foundation tidaklah revolusioner. Tidak praktis sama sekali. Ujaran itu bukan dalam kemasan skeptis, tetapi keyakinan bahwa di masa depan ada perkembangan baru yang benar-benar efisien, khususnya untuk bidang perbankan dan urusan kebijakan moneter.

Namun ada contoh terbaru yang cukup “menggembirakan” adalah ketika Bank Sentral Jerman dan bank Deutsche Börse pada 28 Oktober lalu, mengumumkan keberhasilan mengujicoba dua protipe sistem settlement berbasis blockchain. Sistem itu dikembangkan bersama oleh mereka sejak Februari 2017. Dijelaskan, bahwa sistem itu mampu menjalankan pembayaran biasa, pembayaran bunga, transaksi sekuritas dan pembayaran ulang bagi pertumbuhan obligasi. Disebutkan pula, sistem itu dibuat memanfaatkan Hyperledger Fabric versi 1.0 dan platform Digital Asset, perusahaan yang didirikan oleh Blythe Masters, mantap eksekutif JP Morgan.

Yang terakhir itu adalah soal potensi masa depan yang tampak jelas dari sejumlah penelitian oleh sejumlah institusi, seperti PwC, IDC dan Gartner. Menurut sebuah studi yang dirilis PricewaterhouseCoopers (PwC) pada 27 Agustus 2018, ketidakjelasan regulasi dan masalah kepercayaan adalah hambatan utama yang membuat berbagai bisnis belum mengadopsi teknologi blockchain.

“Responden mengatakan kepada kami, bahwa mereka sangat ingin menggunakan blockchain, walau di tahap awal pengembangannya. Namun demikian, kekhawatiran mengenai kepercayaan dan regulasi tetap ada. Blockchain menurut definisinya seharusnya membangun kepercayaan. Tetapi, pada kenyataannya perusahaan-perusahaan menghadapi isu kepercayaan di hampir setiap aspeknya,” kata Steve Davies dari PwC.

Blockchain yang dirancang baik tidak hanya meniadakan perantara, tetapi juga menghemat biaya dan meningkatkan kecepatan, jangkauan, transparansi dan pelacakan untuk berbagai proses bisnis. Manfaat-manfaat blockchain sangat menarik jika organisasi-organisasi mampu memahami apa tujuan akhir mereka menggunakan teknologi ini, dan memadukannya dengan rancangan mereka.

Menurut studi tersebut, empat dari lima eksekutif dari seluruh dunia, yang mewakili 84 persen responden, memiliki program blockchain yang sedang dijalankan. 25 persen di antaranya telah menerapkan blockchain sepenuhnya atau telah meluncurkan proyek percontohan.

Pada 14 Oktober lalu, mantan Eksekutif JPMorgan Blythe Masters berkata, blockchain akan datang bagi pasar komoditas demi meningkatkan kerahasiaan, Masters menjelaskan, blockchain berpotensi memainkan peran yang revolusioner bagi masa depan pelacakan rantai pasokan di beragam industri, dari makanan dan pakaian hingga komoditas seperti emas, berlian, minyak dan lain-lain. Ia juga menyoroti potensi kegunaan blockchain bagi penambangan, pengapalan dan pertukaran logam, dan mengatakan ada puluhan bahkan ratusan proyek blockchain yang akan dimulai.

Tidak keliru misalnya pelaku bisnis tradisional menilai, bahwa teknologi blockchain saat ini diterapkan terlebih dahulu, sebelum manfaat besarnya dipetik, sehingga memunculkan kebingungan. Apalagi peristiwa peretasan bursa kripto tak pernah berhenti, termasuk proyek ICO yang gagal, di mana melibatkan dana publik yang sangat tidak sedikit.

Anggapan itu senada dengan, komentar Avivah Litan, Wakil Presiden dan Analis Senior Gartner. Ia mengatakan kepada bankinfosecurity.com bahwa blockchain hari ini masih dalam tahap eksperimen.

It’s very much experimentations and putting the cart before the horse,” kata Litan.

Analogi “putting the cart before the horse” adalah penggambaran menempatkan pedati di depan seekor kuda, padahal seharusnya sebaliknya. Itu memang cukup menggambarkan apa yang terjadi di dunia blockchain saat ini, bahwa seolah-olah penerapannya hanya untuk meraup dana publik untuk kepentingan bisnis dan tak jarang ditemui penyimpangan dan hal-hal yang kontradiktif.

“Saat ini, hanya satu persen perusahaan yang menerapkan blockchain pada tahapan produksi. Ada banyak alasan di balik itu. Yang pasti, sebagian besar sistem database saat ini sangat mungkin lebih efisien prosesnya jikalau menggunakan blockchain. Perusahaan akan merasakan resiko yang lebih rendah, termasuk pendapatan yang meningkat. Ya, blockchain sangat menjanjikan,” kata Litan.

Kepada media yang sama, pada 23 Agutus lalu, Ian Yip dari McAfee mengatakan, pada saat ini manajemen pengaksesan data masih bisa ditangani tanpa blockchain. Jikalau pun harus, tidak semua data harus direkam ke dalam blockchain. Teknologi yang ada sekarang masih mumpuni menangani keamanan terhadap data itu.

“Memang kita ketahui ada beberapa proyek blockchain yang mencoba menambahkan fitur keamanan pada data-data medis, tetapi menurut saya itu masih akan bertubrukan dengan isu-isu privasi. Tapi, di awal seperti ini, usaha-usaha penerapannya bagi saya tidak masalah kalau permukaan saja. Belum perlu terlalu dalam. Jadi, secara umum saya melihat perusahaan-perusahaan masih menggunakan pendekatan wait and see,” kata Yip.

Menyitir tulisan Dimaz Ankaa Wijaya, Peneliti pada Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia di BlockchainMedia, ia menegaskan bahwa Keamanan siber yang semakin menjadi isu penting belakangan ini juga dapat memantik teknologi blockchain untuk dapat diterapkan di semua sektor ekonomi. Informasi transaksi keuangan mendapat jaminan ketersediaan (availability) dan integritas (integrity), tanpa adanya satu titik kelemahan (single point of failure). Jika menilik potensi solusi yang ditawarkan oleh teknologi blockchain, jika memang tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan, maka keamanan siber dunia barangkali akan bermasa depan cerah! [vins]