Harga Bitcoin Rp827 Juta, Ujungnya Di Mana?

Bak kesetanan, harga Bitcoin mampu melesat hingga Rp827 juta per BTC hari ini. Lantas, ujungnya di mana?

OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id

Medio tahun 2014, ketika kali pertama saya mengenal Bitcoin, pikiran saya kurang terarah, karena semakin terperangah. Binatang apa Bitcoin ini?

Waktu itu, saya pun masuk rimba Bitcoin dengan informasi dan peta apa adanya, termasuk mencoba memberanikan diri membaca whitepaper Bitcoin karangan Satoshi Nakamoto si misterius itu. Kala itu masih sedikit informasi dari warga di Tanah Air soal aset kripto itu.

Pun yang salah seorang perintisnya di Indonesia adalah Oscar Darmawan, dulu perusahaannya bernama Bitcoin Indonesia, sekarang Indodax.

Dari dialah, termasuk sahabat saya Dimaz Ankaa Wijaya, secara langsung saya mendapatkan informasi tambahan tentang Bitcoin. Di saat yang sama, komputer tercanggih di kantor saya dulu pun “turut jadi korban”, karena saya gunakan untuk menambang.

Singkat cerita, mendalami Bitcoin ini kian mengasyikkan, karena memadukan teknologi informasi dan ekonomi dalam satu sistem. Hingga saya menyadari, Bitcoin adalah entitas kebudayaan baru yang berskala besar bagi peradaban manusia.

Ini bukan berlebihan, karena untuk kali pertama manusia memiliki sistem uang elektronik yang berada di luar struktur negara dan pemerintahan terpusat. Maka bagi saya, Bitcoin adalah inovasi terhebat abad ini, setelah penemuan listrik dan pesawat terbang di abad lalu.

Ditambah lagi distribusi datanya bersifat peer-to-peer, terbuka dan kekal, sehingga memungkinkan siapa saja bergabung, termasuk bank-bank besar yang pada prinsipnya adalah “musuh” dalam ideologi cypherpunk.

Dalam perjalanannya hingga detik ini, semakin saya masuk rimba Bitcoin, semakin saya paham sistem keuangan dunia, perbankan, hingga hiruk pikuk sistem investasi. Bitcoin mengubah situasi itu secara tajam, menghujam nilai uang fiat sampai ke akar-akarnya.

Yang menarik, emas sebagai aset investasi unggulan malah ditinggalkan. Emas lemas, Bitcoin kian membatin.

Saya pun merasa beruntung menikmati gelombang tsunami Bitcoin pada Desember 2017 silam, ketika harganya memuncak di kisaran US$19.600-20.000 per BTC.

Koreksi sangat dalam hingga lebih 80 persen sejak saat itu, pun saya masih merasa beruntung, sembari meyakinkan diri sendiri bahwa harga bisa naik kembali.

Pun proses meyakinkan diri sendiri itu berasaskan sejumlah penelitian dan pendapat sejumlah punggawa aset kripto berkelas dunia.

Argumen mereka memang terasa liar, tetapi sangat masuk akal, seakan-akan terus bersiap terbang menembus kembali harga Desember 2017 silam itu.

Hingga tahun 2020 sejarah berulang, tembok tebal itu dijebol, bersamaan dengan dunia menghadapi krisis ekonomi dampak pandemi.

Dan hari ini, pada tahun 2021 ini, Bitcoin berhasil menjamah dunia dengan Rp800 juta-nya.

Manusia terbelalak lagi, dan pendatang baru bertanya: binatang apa ini? Tulip Mania? Spekulasi kelas tinggi? Mengapa Tesla membelinya? Mengapa ada Bitcoin ETF? Kontrak berjangka oleh raksasa CME dan pertanyaan lainnya.

Perasaan Anda pendatang baru mungkin serupa dengan saya ketika tahun 2014. Masalahnya hari ini tidak sesederhana tahun lampau itu.

Dulu, ibarat makhluk hidup, Bitcoin sejatinya masih bersel satu. Ia dulu ibarat Amoeba. Dan sekarang tumbuh besar, sehat menjadi kelas aset kelas dunia, bersaing sangat ketat dengan emas. Dan ia kini kompleks, khususnya ketika bank-bank besar ikut ngumpul, mencicipinya.

Lihat kapitalisasi pasarnya sekarang mencapai US$1 triliun, satu pangkat dan atribusi baru yang tidak pernah terbayangkan oleh banyak orang.

Saya jadi ingat percakapan saya dengan seorang sahabat, juga penghuni lama Bitcoin tadi malam. Dia bilang, terbangnya harga Bitcoin seperti tahun 2016-2017.

Tapi, saya menimpali: “Sepertinya tidak, mas bro. Ini lebih mirip menuju puncak harga seperti tahun 2013, naik ribuan persen.

Di tengah percakapan seru itu, bukankah pertanyaan paling penting adalah, puncak harga Bitcoin ini di mana di masa depan?

Bagi saya, itu mungkin pertanyaan “Rp1 milyar”, karena, kalau meminjam sejarah masa lalu, ketika mencapai puncak, harga akan terkoreksi sangat dalam hingga 80-90 persen.

Masalahnya, menggunakan model Bitcoin Power Law Corridor, rasanya sudah tak berguna lagi. Sudah “out of the line“. Terlampau sederhana dengan kompleksitas pasar saat ini.

Menggunakan grafik “Cycle Repeat” dengan harga saat ini, diperkirakan bisa memuncak lebih dari US$900 ribu pada 22 Oktober 2021.

Menggunakan Model Stock-to-Flow ala PlanB pun terlalu spekulatif, kendati lebih mudah memproyesikannya, ketika saat ini merah dan nanti menguning, itulah tanda harga puncaknya.

Ada beragam model dan perhitungan matematis untuk meramalkannya. Namun, dinamika Bitcoin hari ini jauh berbeda dengan tahun 2013 dan 2017 silam, karena banyak variabel liar lain yang harus dipertimbangkan.

Apapun ceritanya, dunia harus menunggu puncak itu, entah kapan dan di harga berapa. Namun, sebagai “pedoman tak sahih 100 persen”, menggunakan Model Stock-to-Flow ala PlanB tampaknya mungkin lebih bijaksana. [vins]

Terkini

Warta Korporat

Terkait